sekolah

Mengapa Sekolah Tidak Berkembang? Inilah 7 Penyebab Utamanya

Mengapa Sekolah Tidak Berkembang? Inilah 7 Penyebab Utamanya
Oleh: Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd (Omjay)
Guru Blogger Indonesia
Saya sudah lebih dari 30 tahun menjadi guru. Sejak awal mengajar di SMK Muhammadiyah Jakarta hingga sekarang mengabdi di Labschool Jakarta, satu hal yang saya pelajari: sekolah bukan hanya tempat murid belajar, tapi tempat seluruh ekosistem pendidikan tumbuh dan berkembang bersama.
Saya pernah mengajar di sekolah dengan fasilitas terbatas, tapi atmosfer belajarnya luar biasa. Saya juga pernah mengunjungi sekolah dengan gedung megah, tetapi tidak tampak semangat untuk berubah. Dari pengalaman itulah saya menyadari, bahwa faktor terpenting dalam kemajuan sebuah sekolah bukan pada gedung atau kurikulum saja, melainkan pada manusianya.
Lalu, mengapa masih banyak sekolah yang tidak berkembang? Padahal kurikulum sudah diganti berkali-kali, pelatihan guru rutin dilakukan, dan anggaran pendidikan juga meningkat.
Tidak berkembangnya suatu sekolah bukan karena hanya kekurangan dana, namun karena kehilangan arah dan semangat untuk tumbuh.
Setidaknya, ada tujuh akar masalah utama yang perlu kita pahami dan refleksikan bersama.
1. Kepemimpinan yang Tidak Visioner
Kepala sekolah adalah ujung tombak perubahan. Jika kepemimpinannya lemah dan tanpa visi ke depan, sekolah akan terjebak pada rutinitas tanpa arah. Kepala sekolah bukan hanya bertugas menandatangani dokumen atau mengatur jadwal, tapi juga menjadi penggerak dan inspirator.
Sekolah yang hebat selalu dimulai dari pemimpin yang punya mimpi besar dan mampu mengajak seluruh elemen sekolah mewujudkannya bersama. Ia tidak hanya bicara, tapi memberi contoh nyata. Ia mendengar keluhan guru, memberi ruang inovasi, dan tidak takut menghadapi perubahan.
> “Sekolah tidak akan pernah melompat jauh tanpa pemimpin yang berani memulai langkah pertamanya.”
2. Guru yang Tidak Mau Belajar
Saya pernah mengatakan dalam sebuah seminar pendidikan, “Guru yang berhenti belajar, sama saja dengan menghambat masa depan muridnya.”
Zaman sudah berubah. Dunia digital menuntut keterampilan baru. Tapi masih ada guru yang enggan belajar teknologi, menolak kurikulum baru, dan nyaman dengan metode lama.
Saya sendiri terus belajar. Saya menulis setiap hari, mengikuti pelatihan daring, berdiskusi dengan guru dari berbagai daerah, bahkan aktif di komunitas blogger dan edukator. Saya percaya, semakin kita belajar, semakin kita menyadari betapa luasnya dunia yang belum kita kuasai.
> “Jangan berhenti belajar hanya karena kita sudah merasa pintar. Justru di situlah awal dari kejatuhan kita sebagai guru.”
3. Budaya Sekolah yang Toxic
Budaya adalah pondasi. Sekolah yang sehat akan melahirkan semangat kolaboratif dan saling mendukung. Namun jika budaya sekolah dipenuhi dengan persaingan tidak sehat, politik internal, senioritas yang berlebihan, dan saling menjatuhkan, maka mustahil kemajuan bisa diraih.
Saya pernah melihat sekolah yang memiliki banyak guru hebat, namun karena budaya saling sindir dan tidak percaya, potensi yang ada justru tenggelam. Tidak ada kerja tim. Yang ada hanya kerja ego.
Sekolah perlu membangun budaya positif: saling menghargai, mendukung kreativitas, memberi ruang berbeda pendapat, dan menghormati perbedaan.
> “Lingkungan yang baik bisa mengangkat orang biasa menjadi luar biasa. Lingkungan yang buruk justru bisa membuat orang hebat kehilangan semangat.”
4. Minimnya Keterlibatan Orang Tua
Sekolah bukan pulau terpisah. Pendidikan yang berhasil selalu melibatkan orang tua. Sayangnya, masih banyak sekolah yang membatasi komunikasi dengan wali murid hanya dalam urusan administrasi atau saat rapor dibagikan.
Sebagai guru, saya sering mengundang orang tua untuk hadir dalam kegiatan literasi, parenting, bahkan berdiskusi ringan tentang kebiasaan belajar anak. Dari situ saya tahu bahwa melibatkan orang tua berarti memperkuat jembatan pendidikan antara rumah dan sekolah.
> “Jika rumah dan sekolah sejalan, maka masa depan anak-anak kita akan lebih terang.”
5. Fokus Berlebihan pada Nilai Akademik
Saya tidak anti nilai. Tapi saya sangat menentang pendidikan yang hanya mengukur keberhasilan dari angka-angka di rapor. Pendidikan yang hanya menilai kemampuan kognitif mengabaikan sisi afektif dan psikomotorik siswa.
Saya bertemu banyak murid yang nilai matematikanya biasa saja, tapi sangat kreatif dalam menulis, menggambar, atau membuat konten digital. Sayangnya, mereka merasa “gagal” karena tidak masuk 10 besar.
Sekolah harus mulai mengubah paradigma ini. Bakat dan karakter jauh lebih penting daripada sekadar ranking.
> “Nilai bisa dilupakan, tapi karakter dan keterampilan akan membentuk masa depan seseorang.”
6. Ketidakmampuan Mengelola Perubahan
Kita sudah masuk era digital. Dunia kerja sudah berubah. Tapi banyak sekolah masih menggunakan metode konvensional. Guru masih menjadi satu-satunya sumber belajar. Padahal internet membuka akses ke ribuan sumber belajar interaktif.
Sekolah yang tidak bisa beradaptasi akan ditinggalkan. Kurikulum Merdeka sudah membuka banyak peluang untuk inovasi. Tapi peluang itu hanya bisa dimanfaatkan jika sekolah berani keluar dari zona nyaman.
Saya sendiri terus belajar AI, coding dasar, bahkan mengajak siswa membuat blog dan konten edukatif. Mereka antusias. Mereka merasa dihargai.
> “Perubahan bukan untuk ditakuti, tapi untuk dikelola. Yang bertahan bukan yang terkuat, tapi yang paling adaptif.”
7. Tidak Ada Refleksi Kolektif
Refleksi adalah kegiatan penting tapi sering diabaikan. Guru sibuk mengejar administrasi. Kepala sekolah sibuk laporan ke dinas. Murid belajar hanya untuk ujian.
Jarang ada waktu duduk bersama untuk merenungkan: Apa yang berhasil? Apa yang gagal?
Apa yang bisa diperbaiki bersama?
Padahal refleksi kolektif sangat penting untuk pertumbuhan bersama. Saya sering mengajak guru menulis jurnal reflektif, berdiskusi lewat blog, atau sekadar ngobrol santai setelah rapat untuk saling berbagi perasaan dan ide.
> “Refleksi bukan kegiatan tambahan, tapi bagian dari pembelajaran sejati.”
✨ Motivasi untuk Mengelola Sekolah: Jadikan Sekolah Tempat Bertumbuh, Bukan Sekadar Tempat Belajar
Mengelola sekolah itu ibarat menanam pohon. Tidak cukup hanya dengan menyiram dan memberi pupuk. Kita harus memastikan tanahnya subur, akarnya kuat, dan lingkungannya mendukung.
Sekolah tidak akan berkembang jika hanya mengandalkan kepala sekolah. Harus ada kolaborasi antara guru, siswa, orang tua, komite sekolah, bahkan masyarakat sekitar. Semuanya perlu merasa memiliki.
Sebagai guru, saya percaya:
> “Setiap sekolah punya potensi besar. Tapi potensi itu hanya bisa tumbuh jika semua unsur di dalamnya bergerak, berani berubah, dan saling menguatkan.”
✍️ Penutup: Mari Kita Mulai dari Diri Sendiri
Sekolah yang berkembang bukan soal besar kecilnya anggaran, tapi soal besar kecilnya semangat orang-orang di dalamnya. Jika kita ingin sekolah berubah, maka perubahan itu harus dimulai dari guru dan kepala sekolah yang terus belajar dan membuka hati.
Jangan menunggu sistem berubah. Jangan menunggu instruksi dari atas. Mulailah dari hal-hal kecil: menulis refleksi, belajar teknologi baru, memberi ruang kreativitas bagi siswa, mendengar suara orang tua, dan membangun budaya kerja yang sehat.
> “Jika ingin melihat perubahan besar di sekolah, maka ciptakan perubahan kecil setiap hari.”
Saya percaya, selama guru masih mau belajar dan kepala sekolah masih punya mimpi, maka harapan untuk sekolah yang lebih baik akan selalu hidup. Mari kita bergerak bersama. Karena sekolah bukan tempat menyampaikan materi, tapi tempat membentuk masa depan bangsa.
Tentang Penulis:
Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd, dikenal luas sebagai Omjay, adalah Guru Blogger Indonesia yang aktif menulis, berbagi inspirasi pendidikan, dan mendorong gerakan literasi digital di kalangan guru. Ia telah menulis puluhan buku, mengisi pelatihan nasional, dan menjadi inspirator bagi ribuan pendidik di seluruh Indonesia.
Salam blogger persahabatan
Guru blogger Indonesia

Membangun Ekosistem Sekolah Berbasis TIK

Membangun ekosistem sekolah berbasis tik, dan Peran Guru Blogger di era Revolusi Industri 4.0.
 
Selama seminggu ini teman teman guru disibukkan oleh pengisian e raport. Semua nilai harus diupload ke internet. Ada yang sudah mampu mengerjakannya dengan baik dan ada yang belum. Semua guru dipaksa untuk melakukannya.
 
Bagi guru yang belum terbiasa input nilai siswa dengan komputer, biasanya akan menjadi beban. Namun bagi guru yang terbiasa melakukannya akan menjadi kegiatan yang sangat menyenangkan.

Read More

Guru dan Sekolah Dipaksa Tetap Gunakan Kurikulum 2013

POLEMIK penerapan Kurikulum 2013  semakin memanas. Sejumlah kepala dinas pendidikan di beberapa daerah menolak surat keputusan Mendikbud Anies Baswedan agar sekolah yang baru satu semester menerapkan Kurikulum 2013 kembali menggunakan Kurikulum 2006.

anies-fsgi

”Pembangkangan” sejumlah kepala dinas dan kepala sekolah tak akan terjadi jika Anies berani memutuskan penghentian total Kurikulum 2013 (K-13), termasuk 6.221 sekolah yang sudah lebih dahulu menggunakannya. Pemberlakuan dua kurikulum ini menjadi celah bagi sejumlah kepala dinas pendidikan untuk memaksa sekolah menerapkan K-13 meski tak termasuk 6.221 sekolah tersebut.

”Ketentuan yang saya keluarkan adalah sekolah yang sudah menjalankan K-13 selama tiga semester tetap melanjutkannya. Adapun sekolah yang baru melaksanakan K-13 selama satu semester stop dulu. Kembali ke Kurikulum 2006. Lalu, jika ada sekolah yang sudah menjalankan K-13 selama tiga semester, tetapi tidak masuk dalam 6.221 sekolah tadi, silakan mengusulkan kepada Kemdikbud. Nanti kami cek apakah benar-benar layak untuk ikut menjadi sekolah pilot project,”  kata Mendikbud Anies Baswedan. Keputusan itu tertuang dalam Permendikbud Nomor 160 Tahun 2014, Pasal 1 dan 4.

Terjadi ”Pembangkangan”

Seorang kawan di  Mataram, Nusa Tenggara Barat, mengirim pesan pendek (SMS) kepada saya, yang kurang lebih isinya menyatakan: telah terjadi pertemuan antara seluruh kepala sekolah dan Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) NTB di Kota Mataram. Isi pertemuan adalah memerintahkan semua kepala sekolah agar tetap mempergunakan K-13 meskipun sarana dan prasarana sekolah di NTB belum memadai dan para guru masih belum paham K-13.

Kalau pertemuan itu benar adanya, maka amat disayangkan. LPMP yang seharusnya mendukung penuh kebijakan Mendikbud—karena bagian struktural dari Kemdikbud sendiri—ternyata justru melakukan tindakan sebaliknya. Kalau pada jajarannya saja keputusan Mendikbud ”dilawan”, apalagi oleh para kepala daerah dan kepala dinas pendidikan. Perlu diingat, kepala dinas dan kepala daerah pasti berani menentang Mendikbud atas nama otonomi daerah.

Sehari sebelum SMS dari kawan di NTB saya terima, juga ada SMS masuk dari Batam, Kepulauan Riau, yang menginformasikan bahwa Dinas Pendidikan Batam mengumpulkan semua kepala sekolah se-Batam. Dalam pertemuan tersebut para kepala sekolah diinstruksikan agar tetap menggunakan K-13. Mereka tidak diperkenankan untuk kembali ke Kurikulum 2006 yang lebih dikenal sebagai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Meski banyak yang tidak sepakat, tak ada kepala sekolah yang berani membantah jajaran dinas pendidikannya.

Ketidakberanian para kepala sekolah membantah dinas pendidikan tentu sangat dimaklumi mengingat para kepala sekolah ini diangkat dan diberhentikan oleh dinas pendidikan setempat. Kalau membangkang perintah dinas pendidikannya, maka kemungkinan dicopot dari jabatan akan terjadi. Psikologis para kepala sekolah ini tampaknya belum dipahami Anies Baswedan. Pada era otonomi daerah sekarang ini, kepala sekolah pasti lebih mematuhi kepala dinasnya daripada menterinya.

Ada juga masuk ke inbox Facebook saya keluhan dari seorang kepala sekolah dari Kecamatan Kanor, Bojonegoro, Jawa Timur. Kepala sekolah ini bersaksi bahwa mayoritas kepala sekolah dan guru ingin kembali dulu ke KTSP karena mereka merasakan dalam implementasi K-13 mengalami kebingungan. Apalagi sekolahnya juga belum memiliki sarana penunjang yang memadai untuk mengimplementasikan K-13 secara mulus. Selain itu, ada ketidaksesuaian antara silabus dan kompetensi dasar dengan buku guru dan buku siswanya sehingga berpotensi  pada ketidakberhasilan dalam proses pembelajaran.

Namun, seperti halnya di daerah lain, para kepala sekolah ini lebih memilih mematuhi dinas pendidikannya ketimbang mematuhi menterinya, meskipun surat keputusan Mendikbud ditujukan kepada kepala sekolah.

Saat menjadi narasumber ”Kontroversi K-13” di salah satu televisi swasta, saya juga mendengar langsung pernyataan seorang bupati yang daerahnya tetap akan melaksanakan K-13. Alasan sang bupati, sekolah di wilayahnya sudah siap dan tidak masalah dalam mengimplementasikan K-13 untuk semua sekolah. Padahal, di media sosial, banyak guru di wilayah ini mengeluhkan implementasi K-13 di sekolah mereka.

Saya sendiri sebagai salah seorang kepala sekolah di Jakarta belum menerima surat Mendikbud tersebut meski sekolah saya dengan Kantor Mendikbud relatif lebih dekat dibandingkan dengan kawan-kawan dari Batam, Mataram, dan Bojonegoro. Namun, Dinas Pendidikan DKI Jakarta sama sekali tidak reaktif dengan mengumpulkan para kepala sekolah untuk memerintahkan tetap melaksanakan K-13 atau kembali ke KTSP, di luar 6.221 sekolah yang ditunjuk.

Menyimak pernyataan-pernyataan Kepala Dinas Provinsi DKI Jakarta Larso Marbun serta Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama di media, besar kemungkinan Jakarta akan mematuhi keputusan Mendikbud. Bahkan, di beberapa media, Larso Marbun mengkritisi dengan cukup tajam K-13. Menurut Larso Marbun, penerapan K-13 adalah kebijakan yang belum siap, berakibat akan mengorbankan guru dan peserta didik. ”Kebijakan yang belum siap sejatinya jangan diterapkan dulu karena pasti akan berpotensi gagal di lapangan. Berpikirlah pada kepentingan peserta didik,” katanya.

Uniknya di Jakarta, meski kepala dinas pendidikannya belum mengumpulkan para kepala sekolah, di media sosial sudah ramai para guru dan siswa menginformasikan sikap  para kepala sekolah di Jakarta. Mayoritas ngotot ingin tetap melaksanakan K-13 sekalipun banyak keluhan dari guru dan peserta didik di sekolahnya.

Alasan mereka umumnya sama. Kalau kembali ke KTSP, maka banyak guru tak mampu memenuhi beban kerja 24 jam, karena K-13 menambah jam belajar siswa. Alasan lain adalah lebih pada unsur ”prestise”.

Faktor penyebab

Pembangkangan yang dilakukan LPMP, kepala daerah, dan kepala dinas pendidikan di beberapa daerah terjadi karena
kebijakan Mendikbud yang ”ambigu”. Pemberlakuan dua kurikulum dalam suatu sistem pendidikan dalam keputusan
tersebut telah memberikan celah untuk memilih salah satunya.

Mungkin awalnya para ”pembisik” Anies memperkirakan kalau keputusan ini dibuat, maka banyak sekolah yang termasuk di antara 6.221 sekolah uji coba awal itu akan memilih mundur. Ternyata perkiraan itu meleset tajam: sekolah yang masuk kelompok 6.221 tetap akan melaksanakan K-13, sementara sekolah di luar itu malah cenderung tetap akan melaksanakan K-13, meski hal tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 1 dan 4 Permendikbud No 160/2014.

Anies sangat memahami bahwa terjadi masalah besar di lapangan terkait implementasi K-13. Namun, sayangnya, ia tak berani memilih opsi pertama (menghentikan secara total) saat tim evaluasi K-13 bentukannya bekerja, tetapi lebih memilih opsi kedua. Kenyataan di lapangan justru opsi ketiga yang dipilih para kepala dinas dan kepala sekolah. Alasannya beragam, tetapi sebagian besar karena ”masalah anggaran” dan prestise.

Saya mengapresiasi Menteri Anies yang segera memahami bahwa K-13 dalam implementasinya bermasalah besar. Namun, dengan menerapkan dua kurikulum, ia juga telah ”mengorbankan” siswa di 6.221 sekolah. Meminjam istilah seorang guru besar matematika dan kawan yang sangat saya kagumi, ”Sebagai ayah, kalau anak kita minta makan roti, masak kita tega memberi makan batu.” Saya pikir kejadian ini dapat menjadi bahan pembelajaran berharga bagi Mendikbud yang baru….

Retno Listyarti
Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia dan Kepala SMA Negeri 76 Jakarta

Read More

Mari Rebut Kembali Matpel TIK dan KKPI

IMG_4317

Sudah semakin banyak dukungan dari berbagai pihak agar mata pelajaran tik dan kkpi kembali dlm struktur kurikulum. Guru tik dan kkpi tak perlu lagi galau krn status kita akan kembali sama dan sejajar dgn mata pelajaran lainnya. Matpel tik dan kkpi adalah mata pelajaran paling favorit dan disukai siswa. Nantikan perjuangan kami di metrotv tgl 10 april 2014 dan akan terus ditayangkan perjuangannya ke berbagai stasiun televisi nasional lainnya.