Membaca Kompas hari ini, Kamis 4 Juni 2009 saya memberikan acungan dua jempol buat anggota Komisi X DPR kita yang kritis. Mereka menolak diadakannya kembali Ujian Nasional (UN) ulang di 33 SMA di delapan propinsi. Mereka mengatakan, kalau ada yang curang dalam UN atau tidak jelas dalam pelaksanaannya harus dicari dimana akar masalahnya dan bukan lantas di ulang. Untuk itu, ujian ulang yang telah dijadwalkan oleh pemerintah pada 8-12 Juni diputuskan ditunda sampai pembahasan permasalahan tersebut selesai.
Setelah mendapatkan penolakan dari DPR, Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Mungin Eddy Wibowo mengatakan, BSNP memutuskan menunda ujian ulang. Penundaan sudah disampaikan ke pemerintah daerah dan BSNP akan mengkaji secara mendalam persoalan ini. Hal ini pun akan dipertanggungjawabkan BSNP ke DPR. ”BSNP pada prinsipnya tidak ingin merugikan peserta didik. Tidak ingin anak menjadi korban. Dengan adanya indikasi kecurangan, ujian dianggap batal dan harus diulang. Adanya kesalahan teknis juga mengharuskan ujian diulang,” ujarnya.
Bagi saya yang seorang pendidik, masalah ini sungguh memprihatinkan. Kalau saja pemerintah kita tak mendewakan soal tes pilihan ganda tentu masalah UN akan menjadi lain. Sekarang ini anak-anak didik kita hanya dilatih untuk menjawab soal-soal UN yang sifatnya kognitif. Akibatnya, anak tak terlatih untuk hal-hal yang sifatnya psikomotor, apalagi afektif. UN hanya mendidik peserta didik “menghitung kancing” bila mereka tak sanggup menjawabnya, karena soal kita adalah soal pilihan ganda. Instrumen tes model ini sebaiknya dievaluasi kembali.
Begitu banyak instrumen tes. Bisa Essay, menjodohkan, sebab akibat, dan pilihan ganda. Namun sayangnya, pemerintah mencari mudahnya saja. Pilihan ganda lebih mudah dalam mengoreksinya. Alhasil anak-anak kita tak terlatih dalam proses menulis dan berpikir kritis. Coba bisa anda bayangkan, bila soalnya berbentuk essay, akan banyak jawaban beragam dan disanalah terlihat keragaman cara berpikir siswa. Atau bikinlah soal yang tidak hanya pilihan ganda saja, sehingga akan terlihat siswa yang benar-benar menguasai materi dan yang tidak menguasai materi. Kalau instrumen yang dibuat saja sudah beragam, maka akan sulit bagi siapapun untuk berlaku curang, apalagi membocorkan soal-soal secara sistematis.
Keputusan DPR untuk menolak UN ulang harus ditindak lanjuti untuk terus mengevalusi pelaksanaan UN yang berkualitas. Jangan sampai anak-anak kita kelak menjadi korban UN yang salah pengelolaannya. Akhirnya sebagai pendidik, saya berterima kasih kepada pemerintah dalam hal ini depdiknas yang telah mau berkerjasama dengan anggota DPR dan mau menerima masukan-masukan yang baik demi perbaikan mutu pendidikan kita.
Kalau perlu lakukan dialog terbuka secara efektif dengan para pakar pendidikan kita. Sebab, diantara mereka sendiri masih belum ada kata sepakat tentang pelaksanaan UN. Informasi ini saya dapatkan dari para pakar pendidikan kita seperti Prof. Conny Semiawan, Prof. Arif Rachman, Prof. Yusufhadi Miarso, Prof. Sudiyarto, dan para guru besar lainnya di tempat saya memperdalam ilmu pendidikan. Kita masih lemah dalam hal evaluasi pendidikan.
Oleh karena itu, jika jumlah ketidaklulusan UN nantinya menjadi lebih tinggi lantaran tidak adanya ujian ulang bagi sekolah yang curang, itu merupakan konsekuensi. Hal tersebut juga menjadi pembelajaran bagi Departemen Pendidikan Nasional untuk selalu mengevaluasi UN yang ditangani oleh BSNP. Tidaklulus bukanlah segalanya, masih ada instrumen lainnya, yaitu Ujian Sekolah yang berkualitas, dan pengamatan para dewan guru yang tahu persis kemampuan unik para peserta didiknya.
Akhirnya, harus jujur kita akui bahwa UN belum bisa mengembangkan kemampuan unik siswa yang ada di sekolah-sekolah kita. Sudah sewajarnya bila komisi X DPR terus mengawasi pelaksanaan UN agar UN di negara kita yang kaya ini, benar-benar UN yang berkualitas dan tidak mengorbankan potensi siswa.
Salam Blogger Kompasiana
omjay