Silahkan tonton video ini dan Bacalah artikel kompas di bawah ini, dan setelah itu buatlah artikel baru dalam blog pribadi kamu tentang Melawan Hoaks di Era Digital dengan panjang tulisan antara 500-700 kata. Kirimkan alamat URL tulisanmu di blog ke email wijayalabs@gmail.com. Selamat mengerjakan tugasnya dengan baik!
Melawan Hoaks di Era Digital
ESTER LINCE NAPITUPULU 12 Juni 2019
https://kompas.id/baca/utama/2019/06/19/melawan-hoaks-di-era-digital/
Di era digital, informasi begitu gampang diterima lewat gengaman tangan. Beragam informasi berseliweran di media sosial yang aktif sepanjang waktu. Terkadang, kita tidak mengetahui mana informasi yang benar dan berita bohong alias hoaks.
Lebih bahaya lagi, tanpa disadari dengan mudahnya kita meneruskan informasi di media sosial. Sebuah informasi yang belum bisa dikonfirmasi kebenarannya, bisa menjadi viral. Tak jarang, tanpa kita sadari, ikut berkontribusi dalam penyebaran berita hoaks.
Motivator Merry Riana baru-baru ini bergegas membuat video klarifikasi di media sosial. Maksud baik dari video yang diunggah ke YouTube dengan judul Indonesia Masih Ada Harapan atau Video Harapan, ternyata disebarkan dengan tidak utuh. Video asli berdurasi 3 menit 48 detik yang isinya untuk membangun optimisme pada masa depan bangsa, justru diedit dengan cara dipotong.
Potongan video Merry diunggah oknum tak bertanggung jawab via medsos. Video sepanjang tiga menit diotong menjadi hampir dua menit dengan konten bernuansa negatif tentang Indonesia. Padahal, jika diunggah secara utuh, video itu menyebarkan semangat optimisme untuk masa depan Indonesia.
Merry melawan hoaks tentang dirinya dengan membuat video yang mengklarifikasi video editan yang beredar dan mengajak orang untuk menonton video versi utuhnya agar dirinya tidak disalah mengerti. “Kalau kamu pernah menonton Video Harapan yang hanya berdurasi 1:55 menit itu adalah video editan. Mohon nonton video lengkapnya dulu sebelum menyimpulkan, berkomentar, apalagi membagikan,” kata Merry.
Merry tidak mau diam menghadapi hoaks. Menurut dia, media sosial seharusnya digunakan bukan untuk menjatuhkan, tetapi untuk saling menguatkan. “Namun, sayangnya media sosial justru malah disalahgunakan.
Kita harus melawan hoaks yang jelas-jelas sedang terjadi di hadapan kita dengan lebih banyak menyebar berita baik dan benar. Berita hoaks yang negatif dan tidak benar akan terkalahkan dengan sendirinya. Bersama, kita bisa membalikkan keadaan,” ujar Merry.
Bukan hanya Merry sebagai figur publik yang harus melawan hoaks, para mahasiswa pun berusaha untuk tidak percaya begitu saja informasi yang beredar. Novi Berlianti, mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia,
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, Semarang, mengatakan, dia tak percaya semua informasi yang beredar melalui akun medsos miliknya. “Saya enggak gampang percaya begitu saja. Kalau ada informasi meragukan, coba cek dulu ke situs berita yang biasa dikenal. Kalau enggak ada di situs berita terpercaya, ya berarti hoaks,” ujar Novi.
Jika tidak sempat mengecek kebenaran informasi, Novi tidak sungkan untuk bertanya lebih jauh di grup. Tak jarang, dia mendapat tautan untuk menandatangani sebuah petisi. “Saya mesti pastikan dulu link-nya dan siapa yang mengadakan. Sebagai mahasiswa, kita harus kritis,” kata Novi.
Hal senada disampaikan Astri Pasaribu, mahasiswa Administrasi Publik, Universitas Medan Area, Kota Medan, Sumatera Utara. Ia mengaku tidak gampang membagikan informasi dari medsos, tanpa mengecek terlebih dahulu ke sejumlah situs berita gratis yang terpercaya. “Kadang cari tahu juga langsung ke akun resmi dari orang yang diberitakan. Misalnya, saat Ibu Ani Yudhoyono meninggal, meskipun ada di situs berita, saya mengecek ke akun Instagram anak-anaknya,” ujar Astri.
Astri mengaku informasi atau link yang dibagikan di media sosial seringkali memancing rasa penasaran untuk mengetahuinya. “Tapi aku tetap selalu coba cari tahu, apa ini hoaks atau bukan. Cukup membantu sih dengan rajin ngecek ulang di situs berita lain yang terpercaya. Aku diingatkan kakak senior di kampus supaya bijak bermedia sosial. Diingatkan juga supaya tidak mudah menyebarkan berita yang belum pasti kebenarannya. Kan, ada pasal hukuman untuk yang menyebarkan hoaks. Jadi mesti berhati-hati,” ujar Astri.
Penguatan literasi
Muhammad Khairil dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mapindo) di acara Ngobrol Publik Online dengan tajuk Hati-hati Hoaks mengatakan, informasi hoaks bukan hanya berita, bisa juga foto, dan video. Namun, upaya untuk memerangi hoaks terus tumbuh, salah satunya dilakukan Mapindo dengan memeriksa untuk bisa menyatakan suatu informasi sebagai fakta atau hoaks.
Menurut Khairil untuk dapat memerangi hoaks butuh penguatan literasi, terutama dalam menguatkan nalar atau berpikir kritis. Hoaks biasanya menyentuh emosional seseorang lewat judul yang bombastis dan menarik perhatian.
“Kami dapat laporan dari situs, gambar, video, dan melakukan pencarian sumber referensi sebanyak mungkin, seharian bisa periksa hoaks. Rujukan ke media yang kredibel bisa membantu untuk yakin apakah informasi itu fakta atau hoaks. Intinya tulisan harus ada nama penulis, susuan redaksi, dan alamatnya. Adapun untuk gambar, ada tools digital yang dipakai untuk mengecek,” ujar Khairil.
Khairil mengatakan, banyak informasi hoaks yang bisa dibuktikan kalau informasi memang bohong. Namun, banyak pihak yang tetap lebih memilih percaya hoaks. “Mesti sabar. Kami konsisten, kalau ada hoaks ya kasih tahu, meskipun enggak direspon. Lama-lama orang jadi bisa nanya, apakah ini hoaks atau beneran,” kata Khairil.
Penyebaran hoaks yang semakin masif, terutama terkait Pemilu dan politik, membuat pemerintah bertindak. Pascakerusuhan Mei lalu, Pemerintah lewat Kementerian Komunikasi dan Informasi sempat mengambil kebijakan untuk memblokir media sosial pada 20-24 Mei, utamanya dengan membatasi penyebaran foto dan gambar yang mudah memicu rasa percaya pada hoaks. Kebijakan ini menimbulkan pro dan kontra, apalagi di era penyebaran informasi lewat media sosial mulai jadi andalan masyarakat.
(ELN)
https://kompas.id/baca/utama/2019/06/19/melawan-hoaks-di-era-digital/