Rangkuman Acer

RANGKUMAN TRANSFORMATION TOWARD WORLD-CLASS EDUCATION

Sukses diikuti oleh lebih dari 5.000 peserta, mayoritas peserta meminta sesi pendalaman materi dan kesempatan diskusi yang lebih panjang. Acer menghadirkan webinar rangkuman Acer Edu Summit 2023 dari semua pembicara mancanegara yang kali ini akan disampaikan dalam bahasa Indonesia, bersama Prof. Ir. Tian Belawati, M.Ed., Ph.D. dan Herbet Ang. Segera daftarkan diri Anda dan dapatkan sertifikat digital.

Pembicara:
Herbet Ang
President Director, Acer Indonesia

Prof. Ir. Tian Belawati, M.Ed., Ph.D.
President, International Council for Open and Distance
Education (ICDE), Rektor Universitas Terbuka periode 2009-2017

Feb 28, 2023 02:00 PM in Jakarta

 Add to calendar

868 6391 0404

To Join the Meeting

Budaya Positif

Sosialisasi Budaya Positif

Live Streaming on Youtube
https://youtube.com/live/J4X0Oy63-nc?feature=share

Setiap hari Selasa malam Rabu, APKS PGRI rutin melaksanakan kegiatan public speaking for teacher atau kelas BICARA. Pada malam hari ini, Omjay akan membagikan ilmu dan pengalamannya dalam rangka sosialisasi budaya positif.

Kegiatan kelas bicara ini bersertifikat 40 jam dan dirancang dalam 20 kali pertemuan online melalui aplikasi zoom dan live youtube. Kegiatan kelas bicara ini GRATIS dan terbuka untuk umum.

Menurut ilmu budaya positif yang dipelajari OmJay, budaya positif ada 6 macam yaitu :

  1. Perubahan paradigma stimulus respon
  2. Konsep Disiplin Positif
  3. Keyakinan kelas
  4. Pemenuhan 5 Kebutuhan Dasar Manusia
  5. Lima Posisi Kontrol
  6. Segitiga Restitusi.

Penjelasan yang pertama mengenai Perubahan paradigma stimulus respon, yaitu untuk membangun budaya yg positif, sekolah perlu menyediakan lingkungan yang aman, dan nyaman agar siswa mampu berpikir, bertindak, dan mencipta dengan merdeka, mandiri, dan bertanggung jawab. Salah satu strategi yang perlu ditinjau ulang adalah bentuk disiplin yang dijalankan selama ini di sekolah masing – masing.

Kemudian, Konsep budaya positif merupakan unsur utama dalam terwujudnya budaya positif yang dicita-citakan di sekolah. Kalau siswa bisa disiplin, pasti bisa belajar.  Mendisiplinkan siswa adalah bagian yang paling menantang seorang guru.

Ketika mendengar kata “disiplin”, Kebanyakan orang akan menghubungkan kata disiplin dengan tata tertib, teratur, dan kepatuhan. Iya betul, dikatakan disiplin jika tidak melanggar tata tertib, peraturan, dan sebagainya. Antara yang melanggar peraturan dan  yang tidak melanggar, pasti memiliki motivasi diri. Kenapa bisa melanggar? Kenapa bisa tertib?

Yuk kita kenali adanya 3 motivasi manusia yaitu :

  1. Untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman,
  2. Untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain,
  3. Untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang

Setelah diketahui motivasi yang mendasari perilaku melanggar, kemudian diketahui bersama adanya keyakinan kelas bahwa dalam pembentukan keyakinan kelas,

  1. Keyakinan kelas bersifat lebih ‘abstrak’ daripada peraturan, yang lebih rinci dan konkrit.
  2. Keyakinan kelas berupa pernyataan-pernyataan universal.
  3. Pernyataan keyakinan kelas senantiasa dibuat dalam bentuk positif.
  4. Keyakinan kelas hendaknya tidak terlalu banyak, sehingga mudah diingat dan dipahami.
  5. Keyakinan kelas sebaiknya sesuatu yang dapat diterapkan di lingkungan tersebut.
  6. Semua warga kelas hendaknya ikut berkontribusi dalam pembuatan keyakinan kelas lewat kegiatan curah pendapat.
  7. Bersedia meninjau kembali keyakinan kelas dari waktu ke waktu. Perlu diciptakan dan disepakati adalah keyakinan-keyakinan atau prinsip-prinsip dasar bersama warga kelas. Salah satu yang  telah disepakati yaitu budaya malu, dengan Kesepakatan ” Saya Malu Jika…

Dengan demikuan kesepakatan kelas itu dibuat, didiskusikan , dimusyawarahkan dengan seluruh warga kelas. Jadi seluruh warga kelas mengetahui secara jelas dengan rinciannya.

Selanjutnya dijelaskan pula oleh Dr. Wijaya Kusumah,M.Pd., mengenai 5 ( lima) kebutuhan dasar manusia.

Semua tindakan yg dilakukan di kelas harus dapat menciptakan sebuah lingkungan positif, aman dan nyaman. Dari keyakinan kelas yg telah disepakati bersama akhirnya terbentuklah budaya positif.

Seluruh tindakan manusia memiliki tujuan tertentu. Semua yang kita lakukan adalah usaha terbaik kita untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Ketika kita mendapatkan apa yang kita inginkan, sebetulnya saat itu kita sedang memenuhi satu atau lebih dari satu kebutuhan dasar kita, yaitu

1) Kebutuhan untuk bertahan hidup (survival),

2) Cinta dan kasih sayang (love and belonging) Kebutuhan untuk diterima,

3) Kebebasan (freedom) kebutuhan akan pilihan,

4) Kesenangan (fun) kebutuhan akan rasa senang,

5) Penguasaan (power) kebutuhan pengakuan atas kemampuan.

Penerapan di kelas atau disekolah berkaitan denga pemenuhan 5 kebutuhan dasar manusia adalah sebagai berikut :

  • Ketika seorang siswa melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan, atau melanggar peraturan, hal itu sebenarnya dikarenakan mereka gagal memenuhi kebutuhan dasar mereka.
  • Siswa kita juga mempunyai gambaran dunia berkualitas mereka. Tentunya sebagai guru kita ingin mereka memasukkan hal-hal yang bermakna dan nilai-nilai kebajikan yang hakiki ke dalam dunia berkualitas mereka.
  • Bila guru dapat membangun interaksi yang memberdayakan dan memerdekakan siswa, maka siswa akan meletakkan dirinya sendiri sebagai individu yang positif dalam dunia berkualitas karena mereka.

Dalam menyelesaikan kasus di kelas / sekolah, sebaiknya guru juga harus memahami adanya 5 posisi kontrol. Melalui serangkaian riset dan bersandar pada teori Kontrol Dr.William Glasser, Gossen berkesimpulan ada 5 posisi kontrol yang diterapkan seorang guru, orang tua ataupun atasan dalam melakukan kontrol. Kelima posisi kontrol tersebut adalah:

  1. Penghukum (Hukuman fisik atau verbal) “Patuhi tata tertib”
  2. Pembuat Orang Merasa Bersalah (Biasanya guru menyampaikan dengan suara yang lembut. “Bagaimana kalau orang tuamu tahu”
  3. Teman (Guru memposisikan sebagai teman) “Ingat tidak bantuan bapak selama ini!”.
  4. Monitor (Pemantau/mengawasi) “apa yang telah kamu lakukan?”
  5. Manajer (mempersilahkan murid untuk mempertagungjawabkan perilakunya dan mencari

Di Bagian akhir pemaparannya, OmJay menjelaskan tentang segitiga restitusi. Selama menyelesaikan kasus, guru menggunakan rangkaian segitiga restitusi. Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi siswa untuk memperbaiki kesalahan, langkah-langkahnya yaitu

  1. Menstabilkan Identitas (Kita semua akanmelakukan hal terbaik yang bisa kita lakukan),
  2. Validasi Tindakan yang Salah (Semua perilaku memiliki alasan)
  3. Menanyakan Keyakinan (Kita semua memiliki motivasi internal

Demikianlah hasil dari kelas Public Speaking yang pesertanya  sangat antusias mengikuti lewat Zoom maupun YouTube. Selanjutnya sesi tanya jawab juga sangat ramai dengan pertanyaan. Narasumber menjawab setiap pertanyaan dengan piawainya. Semoga bermanfaat dan senantiasa dapat mengambil tindakan secara adil dan bijaksana. Terima Kasih sudah berkenan membaca kisah Omjay.

Salam Blogger Persahabatan

Omjay

Guru Blogger Indonesia

Blog https://wijayalabs.com

Menanti Sinyal Baik Pendidikan

Menanti Sinyal Baik di Dunia Pendidikan

Menjelang pergantian kepemimpinan pemerintahan, publik menantikan sinyal keseriusan untuk membenahi dan menuntaskan berbagai persoalan pendidikan. Belum terlihat dampak serius kebijakan mewujudkan pendidikan bermutu.

Oleh
CATUR NURROCHMAN OKTAVIAN
20 Februari 2023 11:00 WIB

Menjelang perhelatan politik di tahun 2024 yang akan memilih pemimpin baru negeri ini, publik tentu mempunyai harapan adanya perbaikan dalam berbagai sektor kehidupan. Salah satu sektor yang dinantikan publik memiliki prioritas kebijakan untuk meningkatkan kualitas hidupnya adalah pendidikan. Estafet kepemimpinan selanjutnya semoga tetap fokus pada pembangunan kualitas sumber daya manusia melalui pembenahan sistem pendidikan nasional yang bermutu.

Sistem pendidikan nasional memang harus terus dibenahi karena data menunjukkan kualitas pendidikan kita belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Selama dua dekade terakhir, kualitas pendidikan kita masih stagnan.

Salah satu indikator belum membaiknya kualitas pendidikan dan daya saing bangsa terlihat dari ukuran-ukuran internasional, seperti Trends In Mathematics and Science Study (TIMSS) dan skor Program for International Student Assesment (PISA). Survei yang diselenggarakan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) untuk mengukur pencapaian literasi dan numerasi masih menunjukkan posisi Indonesia belum beranjak naik selama beberapa dekade terakhir.

Pencapaian tujuan luhur pendidikan untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia, efisiensi, efektivitas, produktivitas, dan karakter bangsa sepertinya juga masih jauh panggang dari api. Tugas negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pemberian pelayanan pendidikan yang bermutu penuh jalan berliku.

Belum terlihat dampak serius dari kebijakan yang dilakukan dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu. Publik masih merasa bahwa kebijakan yang dilakukan pemerintah hanya sekadar menjalankan rutinitas program yang biasa-biasa saja, tidak berkesinambungan, dan belum menunjukkan lompatan yang progresif serta hasil yang signifikan.

Keberhasilan penuntasan agenda reformasi dalam kehidupan politik, hukum, dan ekonomi, serta sektor kehidupan lainnya tentu berkaitan pula dengan tuntasnya reformasi di bidang pendidikan. Rakyat yang literat dibina dan dihasilkan melalui pendidikan bermutu. Melalui pendidikan berkualitas, rakyat dapat mengarungi kehidupan politik sesuai nuraninya, mampu mandiri dalam kehidupan ekonomi nasional yang berpihak kepada rakyat kecil, dan pelaksanaan hukum yang berlaku untuk semua orang demi kebaikan bersama dan bukan untuk kepentingan segelintir kelompok elite.

Apakah reformasi pendidikan nasional sudah tuntas hingga kini? Faktanya, penyelenggaraan sistem pendidikan nasional memerlukan perbaikan terus-menerus agar melesat cepat secara kualitas dan tidak stagnan.

Pengembangan sumber daya manusia Indonesia yang mandiri, berkualitas, dan berdaya saing harus menjadi prioritas utama untuk dapat diwujudkan.

Dalam kondisi perubahan kehidupan yang begitu cepat pascapandemi, menyulut dunia pendidikan lebih proaktif dan antisipatif dalam mempersiapkan masyarakat Indonesia memasuki persaingan global. Mau tidak mau, memang siapa pun yang kelak memimpin Indonesia perlu memperkokoh sistem pendidikan nasional yang bermutu dan memiliki daya saing di kawasan regional dan internasional.

Pengembangan sumber daya manusia Indonesia yang mandiri, berkualitas, dan berdaya saing harus menjadi prioritas utama untuk dapat diwujudkan tidak sekadar wacana yang menjadi bahan dagangan dalam panggung-panggung politik. Sumber daya alam kita yang berlimpah harus dapat diolah dan dimanfaatkan untuk peningkatan manusia dan masyarakat Indonesia.

Hal tersebut hanya dapat terwujud apabila kita memiliki sumber daya manusia yang terlatih, memiliki kreativitas mengolah, berbudi pekerti luhur, menghasilkan produk-produk yang bermutu dan berdaya saing tinggi di pasar bebas. Kita tentu sepakat bahwa sumber daya manusia yang berkualitas dihasilkan melalui sistem pendidikan yang bermutu baik.

Menuntaskan agenda reformasi pendidikan

HAR Tilaar dalam bukunya, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad Ke-21, mengemukakan 11 agenda prioritas untuk reformasi pendidikan nasional. Pertama, pengikisan korupsi, kolusi, nepotisme, dan koncoisme. Kedua, pelaksanaan asas profesionalisme. Ketiga, desentralisasi pengelolaan pendidikan dan isi kurikulum. Keempat, peningkatan mutu pendidikan dasar dan penuntasan wajib belajar sembilan tahun.

Kelima, peningkatan mutu sekolah menengah umum dan kejuruan. Keenam, peningkatan mutu dan otonomi pendidikan tinggi. Ketujuh, pengembangan pendidikan alternatif. Kedelapan, peningkatan mutu profesi guru. Kesembilan, pembiayaan pendidikan yang demokratis. Kesepuluh, peraturan perundang-undangan. Kesebelas, pemberdayaan mahasiswa.

Apakah reformasi yang telah berjalan lebih dari dua dekade ini dapat menuntaskan 11 agenda prioritas tersebut? Beberapa agenda reformasi tersebut sepertinya sudah berjalan baik, tetapi sebagian lagi sepertinya membutuhkan penuntasan.

Berbagai upaya peningkatan mutu pendidikan sekolah dan perguruan tinggi masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Tata kelola profesi guru juga masih karut-marut. Banyak sekolah di berbagai daerah kekurangan guru, tetap menyebabkan pelayanan pendidikan belum berjalan optimal.

Pengangkatan guru tetap sebagai ASN (PNS dan PPPK) semoga terus menjadi program prioritas pemerintahan mendatang. Peningkatan kapasitas para guru sebaiknya tidak mendasarkan kepada program-program jangka pendek dan bersifat inklusif. Semua guru berhak dan perlu mendapatkan peningkatan kapasitas diri melalui Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan atau Continuing Professional Development (CPD).

Selain itu, para guru perlu dientaskan dari kendala yang signifikan mengenai manajemen sertifikasi. Kebijakan sertifikasi guru dalam jabatan perlu dikaji secara mendalam agar ditemukan formulasi ampuh dalam menuntaskan antrean panjang yang menimbulkan gejala segregasi yang tidak perlu antara guru-guru yang sudah dan yang belum bersertifikat.

Penyelesaian masalah sertifikasi tersebut diharapkan tidak menghilangkan substansi penting dalam Undang-Undang Guru dan Dosen yang mengatur mengenai sertifikasi. Dukungan anggaran yang berpihak untuk menuntaskan masalah ini sangat diperlukan agar penyelesaiannya tidak berlarut-larut.

Pun demikian dengan peraturan perundang-undangan. Pemerintah yang sedang menggagas penyusunan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) dengan pendekatan omnibus law menggabungkan tiga UU (UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, UU Pendidikan Tinggi) ternyata menuai kebisingan di ruang publik akibat panen protes dari berbagai pemangku kepentingan pendidikan.

Kurikulum yang kerap berubah-ubah setiap pergantian menteri masih terjadi hingga kini dan sepertinya seakan menjadi tradisi. Alih-alih menjadikan guru merdeka dalam menjalankan kurikulum, tetapi ternyata masih dijumpai sejumlah fakta bahwa guru hanya menjadi pelaksana kurikulum ketimbang pengembang kurikulum. Belum adanya Peta Jalan Pendidikan (PJP) nasional yang dapat digunakan sebagai pemandu arah pendidikan nasional menimbulkan tanda tanya di kalangan pemangku kepentingan pendidikan, mau ke mana arah pendidikan kita kelak?

Harus disadari bahwa berbagai problem multidimensi yang dihadapi masyarakat dan bangsa merupakan refleksi dari krisis dalam pendidikan nasional kita. Karena itu, diperlukan percepatan penuntasan beberapa agenda reformasi pendidikan nasional.

Menjelang pergantian kepemimpinan pemerintahan yang akan datang, publik menantikan sinyal baik dari dunia pendidikan. Dinanti sinyal keseriusan untuk membenahi dan menuntaskan berbagai persoalan pendidikan kita agar kualitas dan daya saing sumber daya manusia Indonesia semakin melesat tinggi.

Catur Nurrochman Oktavian, Wakil Bendahara PB PGRI; Wakil Ketua Dewan Eksekutif Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis (APKS) PB PGRI; Guru SMP Negeri 1 Kemang Kabupaten Bogor.

https://www.kompas.id/baca/opini/2023/02/19/menanti-sinyal-baik-di-dunia-pendidikan