RAMADHAN SEBAGAI SIKLUS
Oleh: Nusa Putra,
Adakah di antara kita yang menjalani hidup hari demi hari, jam demi jam, detik demi detik yang bisa terbebas dari khilaf, lupa dan salah? Terkadang tanpa sebab yang jelas kita berfikir atau berniat hendak melakukan sesuatu keisengan, kenakalan atau kejahatan. Meskipun tak ada nyali untuk melakukannya. Pada kesempatan lain kita larut dalam imaji-imaji liar yang tak pantas. Yang sering kali membuat kita jadi malu sendiri kala menyadarinya. Dalam kemarahan, kekecewaan, dan kekhawatiran fikiran kita acap kali dipenuhpadati berbagai kecamuk tak tentu yang menyiratkan percik-percik keirian, kedengkian, syak wasangka, dan semua sisi gelap kehidupan.
Semua kita, dalam derajat dan kualitas yang berbeda-beda, pasti pernah alami semua itu. Sangat tak mengherankan, sebab tidaklah mudah untuk kendalikan fikiran agar tetap berpijak dan berkutat dengan kebenaran dan kejernihan. Para bikhsu Budha berlatih bertahun-tahun dalam tapa samadhi untuk jernihkan fikiran. Mereka harus juga menjadi vegetarian dan tak boleh bekeluarga untuk tujuan yang sama. Semua dilakukan agar dorongan dan gangguan kebertubuhan bisa diredam, dan fikiran dijernihkan.
Sejatinya manusia memang selalu dirasuki, disusupi, dan digelayuti niat dan fikiran-fikiran yang tak benar, bahkan jahat. Itulah kenyataan kemanusiaan kita. Setiap hari, kita tak pernah bebas dari semua itu. Meski telah berusaha sangat keras. Itulah sebabnya dalam semua agama ada kesempatan untuk lakukan pertaubatan. Kesalahan tampaknya memang melekat dalam fikiran kita.
Apakah ada di antara kita yang tak pernah terjerumus dalam ucapan dan tindakan yang tak tepat, tak pantas yang mengarah pada kesalahan? Kadang karena dipaksa keadaan kita terpaksa berbohong. Acapkali karena ingin menjaga perasaan orang lain, kita menjadi kurang jujur.
Di tempat kerja seringkali kita terpaksa berpura-pura untuk menyenangkan atasan atau rekan sejawat. Bahkan tidak sedikit orang bahkan melakukan sesuatu yang bertentangan dangan nurani. Karena khawatir kehilangan kesempatan dan pekerjaan.
Kita hidup dalam masyarakat yang penuh basa-basi. Untuk menjaga keselarasan sosial tak jarang kita lakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan keyakinan iman yang kita anut. Ini kita lakukan untuk menjaga kebersamaan.
Inilah kenyataan hidup sehari-hari. Sama sekali tidak mudah untuk hidup dalam dan dengan kebenaran secara konsisten dalam rentang waktu yang panjang dalam konteks sosial.
Persoalan merumit bila ada pula kepentingan yang menyusup. Beragam kepentingan seperti kepentingan kekuasaan dan penghasilan. Situasi inilah yang seringkali merubah banyak manusia menjadi badut-badut sirkus kehidupan.
Artinya, dalam menjalani hidup kita selalu diliputi beragam kesalahan baik niat, fikiran maupun ucapan dan tindakan. Karena itulah Allah bersumpah demi waktu, bahwa sesungguhnya manusia merugi. Maknanya kebaikannya selalu dikalahkan, digerus oleh kejahatannya.
Dari waktu ke waktu kita seperti pohon yang terus ditumbuhi lumut dan benalu. Sampai suatu saat tak ada lagi yang tersisa kecuali kehampaan dan kesia-siaan.
Barangkali tidak sedikit di antara kita yang sudah terjerumus tenggelam dalam perbuatan yang nyata-nyata tak pantas dan tak benar. Namun karena telah dilakukan terlalu sering, bahkan sudah jadi kebiasaan sampai-sampai kita tak lagi merasa bahwa perbuatan tersebut adalah sebentuk kesalahan. Kita melakukannya dengan santai, malahan bangga bila bisa terus melakukannya.
Boleh jadi itulah isi hidup kita selama sebelas bulan. Kita menjadi semacam tumpukan kesalahan, persis tumpukan sampah busuk di pinggir jalan.
Ramadhan adalah kesempatan yang dengan sengaja dirancang Allah bagi manusia untuk membersihkan diri. Agar berubah dari tumpukan sampah kembali menjadi manusia. Menjadi manusia baru, seperti bayi yang baru dilahirkan.
Sebagaimana lemak tubuh yang menggumpal di banyak tempat dibakarhancurkan sebagai akibat menahan diri dari makan dan minum, semoga semua lemak dan kotoran jiwa juga dikikis habis karena kesungguhan melaksanakan semua ibadah dan beragam kebaikan.
Itulah sebabnya Ramadhan disebut bulan suci. Mensucikan diri kita dari semua khilaf, salah, dan dosa bertumpuk dalam hidup sebelas bulan.
Betapa ruginya manusia yang melewatkan Ramadhan karena digilas kesibukan rutin yang monoton dan memuakkan. Tak mau menyediakan kesempatan untuk menikmati dan menghayati kesyahduan Ramadhan.
Tak perlu juga meninggalkan semua kewajiban pekerjaan demi Ramadhan. Setidaknya sediakan cukup waktu untuk melakukan rutinitas baru, memekarkan kebiasaan-kebiasaan baru yang membuat diri makin sadar akan makna kehidupan yang berujung kematian.
HIDUP MENJADI INDAH BILA RAMADHAN DIMAKNAI DENGAN MEKARNYA SEJUMLAH KEBIASAAN BAIK YANG TERUS DIPELIHARA SAMPAI RAMADHAN DATANG KEMBALI.