BOB DYLAN: TAK PERNAH MUDAH MENJADI MANUSIA

BOB DYLAN: TAK PERNAH MUDAH MENJADI MANUSIA

Oleh: Nusa Putra

 

Bob Dylan

Bob Dylan

“Blowin’ In The Wind”

How many roads must a man walk down
Before you call him a man?
How many seas must a white dove sail
Before she sleeps in the sand?
Yes, how many times must the cannon balls fly
Before they’re forever banned?
The answer my friend is blowin’ in the wind
The answer is blowin’ in the wind.
…………………………

Yes, how many times must a man look up
Before he can really see the sky?
Yes, how many ears must one man have
Before he can hear people cry?
Yes, how many deaths will it take till he knows
That too many people have died?
The answer my friend is blowin’ in the wind
The answer is blowin’ in the wind.
………………….

“Like A Rolling Stone”

Once upon a time you dressed so fine
You threw the bums a dime in your prime, didn’t you ?
People’d call, say, “Beware doll, you’re bound to fall”
You thought they were all kiddin’ you
You used to laugh about
Everybody that was hangin’ out
Now you don’t talk so loud
Now you don’t seem so proud
About having to be scrounging for your next meal.

How does it feel
How does it feel
To be without a home
Like a complete unknown
Like a rolling stone ?
…………………….
Luar biasa. Bob Dylan sungguh legendaris yang sangat fenomenal. Ia menjadi inspirasi bahkan bagi The Beatles, Gun n Roses, dan sejumlah besar penyanyi hebat dalam waktu yang panjang, termasuk Iwan Fals. Lagu-lagunya banyak dilantunkan oleh penyanyi berkaliber, termasuk Avril dan Adelle.

Bob Dylan bukan hanya menjadi inspirasi bagi para penyanyi dan seniman. Ia juga menjadi inspirasi bagi aktivis gerakan yang peduli pada hak asasi manusia, anti perang, dan pencinta lingkungan. Nyanyiannya bahkan dijadikan nyanyian para buruh saat berdemonstrasi. Ia bukan sekadar trobadur atau penyanyi petualang dan pendorong perubahan, juga provokator. Pun pada usianya yang sudah melampaui 70 tahun kini.

Semangat anti perang ditunjukkannya dengan mengkritik kebijakan pemerintah Amerika Serikat yang memerangi Vietnam. Dylan berkeyakinan perang Vietnam adalah kesia-siaan. Sebagai keprihatinannya terhadap perang Vietnam, ia lantunkan lagu ini,

“Knockin’ On Heaven’s Door”

Mama, take this badge off of me
I can’t use it anymore.
It’s gettin’ dark, too dark to see
I feel I’m knockin’ on heaven’s door.

Knock, knock, knockin’ on heaven’s door
Knock, knock, knockin’ on heaven’s door
Knock, knock, knockin’ on heaven’s door
Knock, knock, knockin’ on heaven’s door

Mama, put my guns in the ground
I can’t shoot them anymore.
That long black cloud is comin’ down
I feel I’m knockin’ on heaven’s door.
……………

Gun n Roses pernah membawakan dan merekam lagu ini, tentu dengan gaya dan maksud yang berbeda. Sesuai dengan persoalan pada zamannya.

Dylan memang sangat prihatin pada persoalan-persoalan besar yang dihadapi manusia. Persoalan yang tampaknya bukan hanya terjadi pada tahun 50 dan 60an saat ia pertama kali muncul. Ia terus mengeluarkan album sampai kini. Album terakhirnya Tempest (2012) masih berisi sejumlah keprihatinan pada problema mendasar manusia.

Pada awal kemunculannya, dunia memang sedang berada dalam situasi tak menentu setelah usai perang dunia kedua. Pertarungan ideologi sangat terasa dan perang dingin memunculkan ketegangan baru. Kondisi ekonomi dunia juga belum menentu. Rasa frustrasi tampaknya muncul di mana-mana. Di Eropa, filsafat eksistensialis menguat dan menarik perhatian banyak orang dari berbagai kalangan. Karya-karya sastra diramaikan oleh beragam persoalan manusia yang ditandai frustrasi dan ketidakpastian.

Albert Camus, filsuf dan sastrawan Perancis, tokoh yang menegaskan manusia akhirnya harus berhadapan dan menerima bahwa hidup ini absurd, tak memiliki makna, mendapat hadiah Nobel Satra pada 1957. Karya-karyanya bercerita tentang keterasingan dan absurditas manusia. Sartre, sahabat Camus, tokoh eksistensialis yang banyak mengungkapkan filasafatnya melalui karya sastra mendapat Nobel Sastra pada 1964. Hadiah Nobel kepada dua tokoh eksistensialis ini menegaskan bahwa problematika manusia pada zaman itu adalah kesepian, keterasingan, frustasi, dan ketiadaan makna hidup. Tampak betul bahwa dampak buruk perang dunia belum berakhir.

Dylan muncul dan berhasil memukau banyak orang pada waktu yang sama. Saat dampak buruk perang dunia masih tegas membekas pada sistem otak dan sistem kehidupan manusia. Pertanyaan-pertanyaannya dalam Blowing’ In The Wind, lantas saja dirasakan sebagai pertanyaan semua orang tentang apa makna manusia, apa maknanya menjadi manusia, dan bagaimana manusia menumbuhkembangkan, meraih makna hidupnya?

Tak pernah mudah menjadi manusia. Dia harus berhadapan, bergelut, bertarung dengan banyak problematika hidup yang tak terelakkan. Manusia bukanlah benda mati yang sudah jadi. Sekali jadi, tetap untuk selamanya. Manusia adalah proses yang tak kenal henti. Manusia bukanlah ada (being), tetapi menjadi (becoming). Menjadi bermakna proses yang tak mengenal henti. Terus bergulir. Manusia terus berubah bersama dan di dalam perjalanan waktu. Berubah karena problematika hidup yang melekat dalam kemanusiaanya. Dan problematika terbesarnya adalah bagaimana menjadikan hidup dan keberadaannya bermakna, bagi diri sendiri dan orang lain.

Malangnya, manusia tidak sepenuhnya bisa menentukan perguliran hidupnya dalam mencaritemukan makna hidup dan keberdaannya. Ada ketidakpastian. Arahnya pun tak juga sepenuhnya ia kendalikan, seperti batu yang bergulir dari ketinggian. Tak pernah dapat dipastikan akan sampai dimana akhirnya batu itu berhenti. Apakah bisa terus bergulir, atau malah terbentur, berbelok arah, atau mentok pada tempat yang tidak semestinya?

Kita terbiasa mengumpamakan hidup seperti air yang mengalir. Bisa tenang, tetapi juga bisa penuh gejolak. Namun, air yang mengalir biasanya akan sampai pada satu tujuan yang lebih pasti yaitu ke tempat yang lebih rendah yaitu lautan.

Tidak begitu dengan batu yang bergulir. Memang akan mengarah ke tempat yang juga lebih rendah. Tetapi kemana arahnya? Dimana akan berakhir? Itulah hidup manusia. Sebuah perguliran, pergerakan yang sangat tak pasti arah dan tujuannya.

Dalam album terakhir Tempest (2012) pada lagu dengan judul yang sama, dalam bait terakhir Dylan berucap,

The watchman he lay dreaming
Of all the things that can be
He dreamed the Titanic was sinking
Into the deep blue sea

Kita sama sekali tak pernah tahu, akan seperti apa akhirnya makna keberadaan kita sebagai manusia. Kita tak pernah tahu, akan seberapa panjang perjalanan dan perjuangan yang harus dilewati dan dihadapi untuk pada akhirnya menemukan makna hakiki hidup sebagai manusia.

Tidak seperti Dylan, Camus, dan Sartre yang sungguh mengalami masa-masa peperangan yang mengerikan. Kita hidup dalam dunia yang relatif lebih damai. Namun, problematika yang kita hadapi tak menjadi lebih ringan. Karena apapun zaman dan keadaannya,

MANUSIA HARUS MENCARITEMUKAN MAKNA HIDUP DAN KEBERADAANNYA.

 

by

Teacher, Trainer, Writer, Motivator, Blogger, Fotografer, Father, Pembicara Seminar, Simposium, Workshop PTK dan TIK, Edupreneurship, Pendidikan Karakter Bangsa, Konsultan manajemen pendidikan, serta Praktisi ICT. Sering diundang di berbagai Seminar, Simposium, dan Workshop sebagai Pembicara/Narasumber di tingkat Nasional. Dirinya telah berkeliling hampir penjuru nusantara, karena menulis. Semua perjalanan itu ia selalu tuliskan di http://kompasiana.com/wijayalabs. Omjay bersedia membantu para guru dalam Karya Tulis Ilmiah (KTI) online, dan beberapa Karya Tulis Ilmiah Omjay selalu masuk final di tingkat Nasional, dan berbagai prestasi telah diraihnya. Untuk melihat foto kegiatannya dapat dilihat dan dibaca di blog http://wijayalabs.wordpress.com Hubungi via SMS : 0815 915 5515/081285134145 atau kirimkan email ke wijayalabs@gmail.com atau klik hubungi omjay yg disediakan dalam blog ini, bila anda membutuhkan omjay sebagai pembicara atau Narasumber.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.