Dalam tulisanku terdahulu, aku ceritakan bahwa duitku tinggal seribu. Tak cukuplah untuk membeli sekerdus susu. Aku hanya mengeluh, memohon, dan meminta kepada penguasa langit dan bumi. Sang Maha Pemberi rezeki, pastilah akan memberikan rezekinya kepadaku cepat atau lambat.
Usai sholat dzuhur berjamaah di Masjid Baitul Ilmi yang berada di sekolah Labschool, aku berdoa sangat khusyuk sekali. Aku menangis sesunggukkan, dan kuminta kepada raja di atas raja untuk menolongku hari ini. Rasanya tak sampai hati aku pulang tak membawa susu buat anakku. Pastilah Berlian anak keduaku akan menangis tersedu-sedu bila ayahnya pulang tak membawa susu rasa madu kesukaannya.
Aku semakin cemas, dan merasa sangat cemas ketika lonceng sekolah berbunyi. Pukul 15.30 wib lonceng sekolah berbunyi panjang sekali. Itu tandanya jam pulang sekolah sudah tiba, dan saatnya anak sekolahan pulang ke rumahnya masing-masing.
Kusempatkan sholat ashar terlebih dahulu di rumah Allah. Kupasrahkan diri bila hari ini tak membawa susu untuk anakku. Pikiranku ke sana kemari mencari solusi. Otakku berputar cepat untuk mencari berbagai kemungkinan. Nah! Ada solusi kudapatkan. Aku akan mampir ke bagian keuangan sekolah saja untuk cashbon terlebih dahulu. Dengan begitu, aku akan mampu membeli susu buat anakku Tetapi kupikir-pikir lagi, cashbonku sudah terlalu banyak untuk bulan ini. Sebelumnya, aku sudah cashbon untuk membeli buku pelajaran anak pertamaku Intan yang duduk di bangku SMP. Rasanya, aku malu bila harus berhutang lagi.
Gajiku menjadi guru tidaklah besar. Terlebih lagi harus mencicil rumah dan sepeda motor. Aku harus pandai mengelola uang yang kudapatkan dari mendidik anak bangsa. Untunglah aku memiliki istri yang pandai sekali mengatur keuangan keluarga. Segala pemasukan, pastilah kuberikan kepada istriku tercinta.
Akhirnya, kuputuskan saja untuk langsung pulang ke rumah. Aku berjalan ke parkiran motor seperti pemain sepakbola Indonesia yang kalah bertanding dengan Malaysia. Sedih banget tak bisa membelikan susu buat anakku. Kecewa banget dengan diriku sendiri karena tak mampu memberikan gizi yang baik buat buah hatiku.
Sedang asyik berjalan menuju parkiran motor, ponselku berdering kencang. sangat kencang. Sebab suara ponselku adalah sebuah lagu dangdut yang sangat populer di masyarakat. Aku begitu suka dengan ringtone dari lagu ini. Pernah juga ditertawakan teman, sebab sedang asyik sholat berjamaah, ponselku berbunyi dan terdengarlah lagu dangdut yang membuat orang yang sholat menjadi tertawa terbahak-bahak. Aku merasa memiliki dosa tak terkira. Semenjak itu, aku matikan ponsel sebelum sholat berjamaah atau kuatur bunyisilent atau bergetar agar tak mengganggu orang lain yang sedang sholat.
Kembali kepada ponselku yang berdering nyaring. Di ujung sana terdengar suara yang tak asing lagi di telingaku. Temanku wawan dari tabloid pendidikan Gocara meneleponku.
“Assalamu’alaikum omjay,” begitu suaranya membuka percakapan.
“Walaikum salam, alhamdulilah baik Kang Wawan. Begitu jawabku dengan nada harap-harap cemas. Semoga ada berita baik darinya.
“Alhamdulilah Omjay, tulisan Omjay sudah dimuat di tabloid pendidikan kami, dan honor menulisnya sudah kami transfer kemarin. Tolong nanti dicek ya Omjay. Besok tabloid akan saya kirimkan ke sekolah Labschool”. Begitulah Kang Wawan pemimpin redaksi tabloid itu menyampaikan berita gembiranya.
“Alhamdulillah, terima kasih Kang Wawan. Jadi semakin semangat nih menulis. Pokoknya, kalau Kang Wawan perlu artikel tentang pendidikan, jangan sungkan telepon saya”. Begitu kataku yang terlihat sangat gembira.
“Pasti Omjay, tulisan omjay itu renyah dan enak dibaca. Kami sangat suka dengan tulisannya. Apalagi masih sedikit guru yang menulis tentang dunia kependidikan. Tulisan Omjay sangat kami nantikan”.
Sekitar 5 menit, kami bicara melalui ponsel. Cukup lama juga tak terasa. Maklumlah banyak yang kami bicarakan untuk tulisan selanjutnya. Akupun tersenyum seperti Mandra di film si Doel anak sekolahan yang setoran angkotnya lumayan banyak hari ini.
Kumasukkan ponsel ke dalam celanaku. Lalu kunyalakan mesin motorku untuk menuju ATM terdekat. Alhamdulillah, ternyata benar. Honor menulisnya telah masuk dalam rekening tabunganku. Kuambil uangnya untuk membeli susu anakku.
Akh, tiba-tiba saja aku seperti memiliki tenaga baru. Tiba-tiba saja aku seperti orang gila yang tersenyum-senyum sendirian. Sambil bersiul menuju supermarket, aku bersyukur kepada Allah yang telah memberikan rezekinya. Inilah kisah nyataku. Dari menulis kubeli susu untuk anakku.
Salam Blogger Persahabatan
Omjay
5 thoughts on “Dari Menulis Kubeli Susu Untuk Anakku (2)”