Rumahku adalah surgaku. Ungkapan ini memang tidaklah salah. Sebab kebahagian selalu dimulai dari keluarga. Pemerintahan yang terkecil dimulai dari sebuah keluarga. Ayah dan ibu adalah pimpinan keluarganya. Bila mereka sudah mampu menjadi orang tua yang baik, maka setiap anggota keluarga yang berada di dalamnya akan merasakan kebaikan pula. Itulah mengapa saya menyebutnya Rumahku adalah surga dunia bagiku.
Setiap anggota keluarga merasakan kedamaan dan ketentraman. Ayah dan ibu telah mampu menjadi panutan. Keteladan harus dimulai dari yang tua, maka yang muda akan mengikuti. Peran ayah sangat penting artinya bagi anggota keluarga. Begitupun peran ibu, dialah ratu di rumah tangga. Ketika ayah dan ibu saling melengkapi, ketika pasangan suami istri saling mengerti, maka terasa surgalah rumah itu. Anak-anak merasakan kasih sayang yang berlimpah dari kedua orang tuanya. Bila mereka dibesarkan dengan kasih sayang, maka mereka akan selalu memberikan kasih sayang pula kepada orang lain.
Kasih sayang tumbuh dari dalam keluarga. Suami mencintai istri, dan istri mencintai suaminya dengan penuh kasih sayangnya. Ketika lahir seorang bayi dari buah cinta mereka, maka akan bahagialah kedua pasangan suami istri itu. Saat-saat bahagia ketika menunggu kehadiran si buah hati. Bayi mungil yang keluar dari perut ibunya. Keluarga akan lengkap bila berisi orang tua dan anak.
Saya termasuk suami yang tak sempat melihat ketika anak-anak dilahirkan ke dunia. Kedua putri saya lahir, ketika ayah mereka sedang bertugas mendidik anak bangsa. Saya hanya melihat mereka di ruang perawatan bayi. Mungkin ini sudah menjadi skenario Allah. Bukan saya sengaja melakukannya. Semua di luar kemampuan dan kondisi saya saat itu.
Ketika anak pertama saya (Intan) lahir, saya sedang bertugas sebagai mentor di pesantren ramadhan sekolah. Ayah saya (almarhum) mengabari saya lewat telepon. “Alhamdulillah anak pertamamu sudah lahir di Bandung, dan izinkan ayahmu memberikan nama Intan Rahmadhani Kusumah”.
Saya langsung menyetujuinya. Tanpa pikir panjang, saya langsung meluncur ke Bandung (rumah mertua). Saya tak menduga kalau Intan lahir prematur dan hanya berada dalam kandungan ibunya selama 8 bulan saja. Dia lahir di bulan ramadhan, bulan yang penuh rahmat dan maghfiroh. Saya langsung memberikan nama sesuai dengan permintaan ayah kepada bidan rumah bersalin. Saya masih ingat tanggal itu, 26 Desember 1998. Itulah tanggal pertama saya resmi menjadi seorang ayah. Mata saya berkaca-kaca bahagia karenanya.
Dunia terus berputar sesuai porosnya. Begitupun dengan kehidupan keluarga kami. Rumah mungil di Cibitung Bekasi menjadi rumah pertama kami. Rumah yang saya cicil dari penghasilan menjadi seorang guru. Di rumah itu kami membangun keluarga sakinah, mawaddah, dan warahmah. Sampai kemudian anak kedua (Berlian) lahir. Rumahku benar-benar menjadi surga dunia bagiku. Tak ada masalah berat kami temui selama perjalanan membangun keluarga bahagia. Tahun 2000 saya berangkat ke tanah suci. Intan masih berada dalam gendongan ibunya.
Kehadiran putri keduaku juga tak bisa kulihat. Berliana Nuraliza Kusumah lahir di saat-saat saya sedang bersedih hati. Ayahku baru saja dipanggil yang maha Kuasa. Allah telah memanggilnya dan membawanya ke Surga. Kini saya telah menjadi anak yatim piatu. Ibu saya sudah meninggal 7 tahun sebelumnya. Ayah berpesan, untuk menempati rumahnya di Jatibening Bekasi. Rapat keluarga besar mempersilahkan keluarga kami untuk membeli rumah yang ditempati ayah. Kami pun pindah dalam suasana duka keluarga.
Mesin waktu berputar cepat sekali. Tak terasa kami sudah berpindah rumah. Dari Cibitung ke Jatibening. Anak dan istri segera menyesuaikan diri. Intan pindah sekolah ke sekolah dasar (SD) dekat rumah. Waktu itu Intan masih kelas 3 SD, sedangkan Berlian belum bersekolah. Kami pun berkenalan dengan tetangga-tetangga baru.
Tetangga adalah keluarga yang paling dekat. Saya selalu menyampaikan pesan kepada istri agar berlaku baik kepada tetangga. Bila kita masak dengan masakan yang enak dan lezat, jangan lupa mengirimkannya kepada tetangga. Kebetulan tetangga kami adalah seorang nenek yang sudah berusia 85 tahun. Kami memanggilnya OMA (Agamanya Khatolik). Oma tak mau tinggal dengan anak dan cucunya, karena merasa nyaman di rumah sendiri. Di hari tuanya, dia tetap sehat dan melayani dirinya sendiri. Kalau bosan barulah anaknya menjemput OMA, dan mengajaknya ke rumah mereka. OMA sudah seperti orang tua sendiri, walaupun keyakinan agama kami berbeda. Terkadang OMA menasehati kami yang muda agar banyak makan sayur dan buah supaya tetap sehat di hari tua. Jangan lupa pula selalu rutin berolahraga agar badan atau tubuh ini bergerak. OMA suka marah kepada saya kalau saya hanya berdiam diri saja. Seperti orang tua yang memarahi anaknya sendiri.
Pagi ini, minggu 25 Agustus 2013 tiba-tiba saya teringat OMA. Sudah 6 bulan lebih tak melihat OMA. Anak dan cucunya membawa OMA ke rumah mereka di Sentul. Rumahnya sepi tak berpenghuni. Saya menjadi membayangkan diri sendiri bila nanti menua dan melupa. Apakah saya bisa seperti OMA? Tetap sehat di hari tua seperti OMA. Bahagia di hari tuanya bersama anak dan cucunya. Saya jarang melihat OMA bersedih hati.
Rumahku adalah surga dunia bagiku. Akan saya buat rumah ini surga bagi keluargaku. Istri dan anak-anak merasa nyaman berada di dalamnya. Kini Intan sudah kelas X di SMA, dan Berlian sudah kelas 5 SD. Kakak beradik ini sedang berpelukan di tempat tidur melanjutkan tidurnya. Setelah sholat subuh mereka tertidur lagi. Maklumlah semalam asyik menonton Fatin di X Factor RCTI. Kedua anak itu seperti menemukan idolanya. Idola para remaja yang sedang asyik dengan dunianya. Kita sebagai orang tua harus mampu mengarahkannya. Inilah kisah nyataku, semoga keluargamu juga bahagia sepertiku.
Salam Blogger Persahabatan
Omjay
One thought on “Rumahku adalah Surga Dunia Bagiku”