Selamat malam Sahabat Semua
Tulisan ini adalah jawaban opini yang akan menyoroti tulisan sahabat saya, blogger Kompasiana, sekaligus guru Omjay dalam menulis di dunia maya. Namanya Mas Harja Saputradi http://politik.kompasiana.com/2013/06/09/menyoroti-tulisan-om-jay-kalau-gue-bela-pks-masalah-buat-lo-567183.html
Supaya Omjay menjawabnya enak, izinkan saya tersenyum dan berterima kasih, sebab begitu banyak para sahabat yang memperhatikan Omjay. Hasil pencarian Omjay di mesin pencari Google meningkat drastis,personal branding Omjay pun meningkat. Kalau dulu sulit sekali menemukan omjay di dunia maya, maka sekarang sudah banyak blogger yang menuliskannya. Alhamdulillah. Omjay bersyukur kepada Allah. Lebih bersyukur lagi ada yang menuliskan begini http://politik.kompasiana.com/2013/06/10/omjay-saya-bilang-apa-567378.html
Saya copas utuh tulisan sahabat omjay, Mas Harja Saputra di postingannya.
Pertama, beliau (Omjay) mencantumkan identitas dan profesinya di tulisan itu sebagai guru: “Sebagai guru saya sangat sedih bila ada org cerdas…bla..bla..bla..”. Dalam pencantuman profesi guru dengan apa yang ditulis sesungguhnya sudah terjadi logic-fallacy (kesalahan logika), yaitu: antara profesi guru dengan masalah politik itu dua hal yang tak boleh digabungkan dalam satu frame. Kenapa? Karena lingkungan sekolah (dengan seluruh elemennya) harus bebas dari aktivitas politik. Ini aturan baku yang sudah berlaku umum. Guru adalah elemen sekolah, dia tidak boleh bersandingan dalam satu frame dengan politik. Setiap orang, termasuk guru, memang mempunyai hak yang sama untuk berpihak pada partai politik, tetapi bukan dalam kapasitasnya sebagai guru melainkan sebagai warga negara. Ini yang harus dipahami. Maka, ketika dia mendeklarasikan sebagai guru dan pada saat yang sama ia berada dalam satu frame dengan partai politik, maka ini sudah mencederai profesi guru (silahkan diperiksa lagi kode etik guru).
Saya tersenyum membaca opini sahabat saya. Sebab saat ini guru diperbolehkan berpolitik. Apalagi saya adalah guru non PNS. Mengapa guru diperbolehkan berpolitik? Sebab kebijakan pendidikan di negeri ini diputuskan dengan cara-cara politik. Contohnya ujian nasional dan kurikulum 2013 yang diputuskan bukan lagi dengan cara akademik, tapi politik di DPR. Kalau Mas Harja detil membaca tulisan Omjay di kompasiana dan berbagai blog yang omjay kelola, maka saya sebagai guru telah berpolitik melalui tulisan. Hehehe.
Adalah salah bila menuliskan profesi guru dan masalah politik tidak boleh digabungkan dalam satu frame. Nampaknya mas Harja harus banyak belajar sejarah Indonesia. Di jaman meraih kemerdekaan, Para guru berpolitik melawan penjajah melalui tulisannya. Salah satunya Ki Hajar Dewantara. Beliau berpolitik melalui tulisan-tulisannya. Di jaman sekarang pun teman-teman guru yang kritis berjuang melalui tulisan, dan tidak hanya lisan.
Jadi, Tidaklah benar mereka yang berprofesi guru tak boleh berpolitik. Tidaklah benar juga guru yang satu frame dengan partai politik dikatakan mencederai profesi guru. Coba tolong dibaca lagi kode etik guru, karena saya sebagai pengurus ikatan guru Indonesia (IGI) di tingkat pusat bersama-sama dengan PGRI ikut menyusun draft kode etik guru itu. Organisasi guru tak lagi didominasi PGRI. Saya rasa mas Harja sdh membaca dengan cerdas tulisan sahabat saya ini http://edukasi.kompasiana.com/2013/06/10/ketika-kode-etik-guru-dimonopoli-sebuah-tanggapan-atas-logical-fallacy-harja-saputra-567395.html
========
Kedua, dalam tulisannya Om Jay menulis: “Terkadang keberpihakan itu perlu agar kita tahu mengapa kita harus membela yang benar dan bukan membela yang bayar. Tapi saya agak kaget ketika banyak akun yang kurang saya kenal tiba-tiba menyerang pendapat saya dengan gagahnya. Seolah-oleh merekalah penguasa negeri ini dan tak suka bila ada orang yang membela pks. Kalau sudah begitu saya cuma bisa bilang, “kalau gue bela pks, masalah buat lo?”
Kalimat di atas adalah kalimat tendensius yang tidak lagi netral. Sudah berpihak total pada pendapatnya. Sebagai penulis, apalagi guru, apalagi peneliti yang mungkin sudah berkali-kali meneliti, statemen yang terlalu memihak dan tendensius harus dihindari.
Di mana tendensiusnya? Lihat saja susunan kalimatnya. Maaf kalau saya akan mempreteli kalimat-kalimat rancunya di sini. Lihat kalimat, “…agar kita tahu mengapa kita harus membela yang benar dan bukan membela yang bayar“. Mari kita bertanya: siapa yang dimaksud “YANG BENAR” dalam kalimat itu? PKS, dengan sendirinya, dalam kalimat itu diposisikan sebagai yang benar, dan yang lain salah. Jika diterapkan dalam logika berpikir, maka: Kasus LHI yang sudah jelas-jelas tersangka itu “BENAR” dan yang menangkap itu “SALAH”. Ini logika yang tak bisa diterima. Dalam status tersangka pun sebenarnya belum jelas siapa yang benar dan salah karena belum ada keputusan hukum tetap. Ini sudah yakin bahwa itu “BENAR”. Dari mana kesimpulan itu? Saya belum tahu dari mana bisa demikian.
Perlu diketahui, partai politik memberlakukan sanksi pada setiap kadernya, “Jika kadernya ditetapkan status tersangka maka ia dicopot dari jabatannya”. Apa maksud dari ketetapan ini? Yaitu bahwa jika tersangka maka arah untuk “SALAH” itu besar, bukan arah untuk “BENAR” yang besar. Karena kalau kebalikannya buat apa ada peraturan itu. Seharusnya jika konsisten, kenapa harus dipecat? Kan baru tersangka, tapi itulah memang logika yang bisa diterima. Orang yang berurusan dengan hukum, apalagi sudah kena pidana, melamar kerja aja susah. Itu karena kita lebih suka pada orang yang tidak bersentuhan dengan pelanggaran moral dan pelanggaran hukum.Yang harus dibela adalah yang bersih dari itu. Kenapa juga harus membela orang yang kemungkinan melanggar hukumnya besar. Masih banyak orang-orang yang layak kita bela selain para “koruptor potensial” (kalau sudah ditetapkan putusan bersalah namanya “koruptor aktual”).
Selain itu, simak kalimat “….bukan membela yang bayar”. Saya tidak mengerti dari mana asal kalimat ini muncul. Apakah di Kompasiana ini orang yang menulis anti-PKS itu dibayar? Kalau iya, siapa orangnya? Tunjuk saja. Biar jelas. Jangan sampai prasangka ini menjadi prasangka massal. Seolah benar, padahal hanya memfitnah. Inilah yang saya takutkan, ketika kita berpolitik, cenderung menghalalkan segala cara, menuduh orang serampangan, memfitnah untuk menjatuhkan.
Logikanya begini. Kalau A tersandung kasus hukum. Persepsi yang mendekati kebenaran yang mana? Apakah B yang membela A ataukah C yang tidak membela? Persepsi umum adalah jika orang (B) mati-matian membela orang yang sedang tersandung hukum (A) maka B-lah yang mungkin dibayar bukan sebaliknya. Kenapa jadi ada pemutaran logika di sini oleh Om Jay? Saya tidak tahu apa motifnya.
Kalimat selanjutnya, yaitu “….Tapi saya agak kaget ketika banyak akun yg kurang saya kenal tiba-tiba menyerang pendapat saya dengan gagahnya. Seolah-oleh merekalah penguasa negeri ini dan tak suka bila ada org yg membela pks. Kalau sudah begitu saya cuma bisa bilang, “kalau gue bela pks, masalah buat lo?”
Apa maksud tersirat dari kalimat itu? Sikap anti-kritik. Sebagai guru dan penulis yang baik tidak boleh bersikap anti-kritik. Karena kita tidak ada yang sempurna. Jika guru saja sudah anti-kritik bagaimana dengan muridnya. Apalagi jika merujuk pada teori Pembelajaran Gestalt, guru yang anti-kritik akan melahirkan generasi yang destruktif dan arogan (monggo disimak lagi teori pembelajaran yang baik. Guru itu bukan hanya di sekolah, tapi status yang juga harus diterapkan dalam setiap tutur-kata dan tindak-tanduknya di masyarakat).
Kali ini saya lebih tersenyum lagi membaca opini sahabat saya mas Harja Saputra. Sebagai seorang guru, saya sangat welcome menerima kritikan. Dari tahun 1992 ketika pertama kali menjadi guru, tak ada satupun peserta didik omjay yang dilarang mengkritik gurunya. Saya terbiasa menerima kritik, sebab bagi saya kritik itu akan membuat saya sebagai seorang guru menjadi lebih baik ketimbang mendapatkan pujian.
Kalau melihat judul tulisan saya memang terlihat jelas memihak PKS. Sebab PKS tidaklah bersalah. PKS harus dibela. Kalau ada kesalahan, bukan PKS-nya yg salah, tapi oknum dari kader PKS-nya yg salah. Apalagi contoh berita yang saya tunjukkan dalam tulisan itu tidaklah benar. Wajar saja kalau kemudian saya membela PKS, sebab kehadiran Pak Anis Mata di Pesantren Jawa Timur dituliskan berbeda olehdetik.com, sebuah media arus utama. Sementara ada seorang blogger yang menuliskannya dengan detil dan jelas serta dilengkapi foto. Bukankah ini pembohongan berita namanya? Hal yang membuat saya bingung, kenapa dihubungkan dengan LHI? Tak ada satu katapun di paragraf saya menuliskan kata LHI. Jadi ini jelas “Jaka Sembung Bawa Golok”. Silahkan dibaca tulisan sahabat blogger yang menulis dengan hatinya ini http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2013/06/05/mempertanyakan-kebenaran-berita-di-media-online-pks-itu-didemo-apa-enggak-sih-562595.html
Kita harus membela yang benar, itu pesan idola saya almarhum Gusdur. Bukan membela yang bayar. Seorang jurnalis yang menulis di media arus utama jelas dibayar oleh pemilik media . Bagi mereka Bad News, is a good News. Sebagai seorang blogger yang tidak dibayar saya harus meluruskan berita kedatangan Anis Mata yang tidak benar ini. PKS harus dibela melalui tulisan. Sebagai blogger saya ikhlas menuliskannya. Walaupun saya melihat PKS juga sudah memberikan klarifikasi berita.
Bagi saya belum ada satupun kader pks yang terbukti sebagai koruptor. Baru sebagai tersangka saja seperti kasus LHI. Beda halnya dengan partai demokrat, dimana Nazarudin dan Angelina Sondakh sudah terbukti bersalah di pengadilan. Kita juga masih menunggu proses hukum tersangka Anas urbaningrum, dan Andi Malarangeng. Jadi jangan memvonis dulu sebelum ada proses pengadilan. Kalau kemudian nanti LHI dinyatakan bersalah, misalnya, PKS akan secara terbuka memberitakannya. Orang yang bersalah harus dihukum sesuai dengan kesalahannya. namun demikian, Azas praduga tak bersalah harus dijunjung tinggi.
Apakah di Kompasiana ini orang yang menulis anti-PKS itu dibayar? Omjay tidak tahu, sama halnya orang-orang yang cinta PKS. Mereka juga tidak dibayar. Termasuk saya sendiri yang dibayar PKS 2M, Makasih Mas, makasih Mbak, hehehe.
Bagi Omjay berbagi ilmu itu ibadah. Kalau ada kader parpol lain mengundang saya sebagai nara sumber, saya pun akan menghadirinya. Kalau yang mengundang PDIP misalnya, maka saya akan tuliskan dalam postingan saya “Kader PDIP Hebat-hebat loh!” Apakah saya tak boleh memuji kader PKS yang telah mengundang saya menjadi nara sumber kepenulisan? “Kader PKS Hebat-hebat Loh!” Hal itu saya tuliskan untuk memotivasi mereka agar memiliki kemampuan menulis.
Lucunya, ada blogger yang menuliskan omjay disewa PKS untuk menjadi Trainer kepenulisan dalam komentar, dan juga postingannya. Saya tertawa ngakak sambil guling-guling menikmati kambing guling, wkwkwkwk. Apakah kemudian omjay marah? Tidak! Sebab persepsi orang bisa jadi berbeda. Sama halnya persepsi orang tentang PKS. Ada yang memuji dan ada yang memaki.
Bagi saya, ada saatnya kita dibayar secara profesional, dan ada saatnya kita bekerja secara sosial. Tergantung ijab kabulnya di saat menerima undangan. Sebab rezeki itu datangnya dari Allah, bagi mereka yang kreatif akan ada jalan kemudahan menjemput rezeki. ORANG BAIK, REZEKINYA BAIK.
===========
Ketiga, Om Jay menulis dalam paragraf selanjutnya: “Jadi bila ada yg tak suka dengan tulisan saya tentang pks, bagi saya mah ini biasa. Namanya juga manusia. Belum tentu yg mengkritik itu lebih baik daripada yg dikritik.”
Kalimat itu kalimat kondisional yang benar tapi sengaja dipotong untuk satu tujuan: membenarkan opininya. Kenapa? Seharusnya jangan dipotong kalimatnya: Belum tentu yang mengkritik itu lebih baik daripada yang dikritik, dan belum tentu juga yang dikritik itu lebih baik. Kenapa yang ditonjolkannya yang mengkritik, bukan yang dikritik. Ini adalah kondisi alam bawah sadar yang berulang: yaitu sikap anti-kritik seperti telah disebutkan di atas. Karena dengan menggunakan logika bahwa belum tentu yang mengkritik lebih baik, itu maksudnya “tak usahlah mengkritik saya”.
Kenyataannya memang yang mengkritik itu belum tentu lebih baik dari yang dikritik. Silahkan saja dibaca komentar mereka. Itu mah gak usah pakai logika. Anak kecil yang sekolah di tempat saya juga sudah tahu. Bukan karena saya anti kritik, sebab seringkali kritikannya Jaka Sembung naik Ojek, gak Nyambung Jek. Jadi capek deh ngelayaninya. Mendingan saya menulis hal lainnya yang bermanfaat buat orang banyak.
Sebenarnya, kepengen banget menuliskan satu demi satu balasan komentarnya, baik yang pro maupun yang kontra. Tapi ya percuma saja, sebab logika yang dipakai seringkali tak nyambung dengan konten tulisan yang saya buat. Coba deh dilihat-lihat mereka yang menyanjung dan mengkritik PKS. Sama-sama memaksakan logika berpikirnya. Sebagai penulis saya biarkan saja. Dari sana akan terlihat siapa yang cerdas dalam membaca pesan sang penulisnya. Kalau mau dikritik, kritik sajalah. Omjay justru berterima kasih kepada sahabat yang sudah memberikan kritik dan masukannya. Tetapi bukan menjatuhkannya secara personal loh? hehehe
================
Keempat, Om Jay juga menulis: “Membela pks bukan berarti saya lantas memilih pks dalam pemilu nanti. Belum tentu. Sebab saya sudah memiliki pilihan tersendiri. Saya cuma ingin memberi contoh, walaupun kita berbeda pendapat tapi kita harus membela mereka yang mendapatkan perlakuan yg kurang berimbang dari media mainstream.”
Kalimat di atas tak usah ditulis, karena “common sense“. Kenapa common sense? Pemilu itu RAHASIA sifatnya. Itu sudah pasti, jadi tak mungkin kita tahu atau tak mungkin kita sebutkan apa yang kita coblos di bilik suara. Kenapa kok dicantumin dalam kalimat. Kalau yang pasti kenapa harus dibikin mengambang? Kalimat Om Jay di atas tak bermakna apapun, bahkan menggiring opini dengan sesuatu common sense logic fallacy. Masalah pilihan orang tentu tak akan ada yang tahu, dan siapa juga yang menuduh beliau akan memilih PKS di bilik suara? Kan tidak ada, karena itu rahasia pribadi.
Kemudian kalimat, “walaupun kita berbeda pendapat tapi kita harus membela mereka yang mendapatkan perlakuan yg kurang berimbang dari media mainstream”. Ini kalimat kontradiktif. Misal, ketika A diberitakan oleh media dengan tuduhan miring, yang berhak untuk mengklarifikasi siapa? Tentu pihak A kan. Sekarang kita ini pihak A bukan? Berarti yang harus meluruskan pemberitaan adalah pihak A, berarti Om Jay adalah pihak A dong? Ya tinggal dinilai saja dari logika itu.**[hs]
Sampai saat ini, saya belum menjadi kader atau simpatisan pks. Saya juga belum pernah memilih pks dalam pemilu atau calon pks dalam pilkada. Siapa yang tahu? Hanya omjay dan Allah. Namun saya harus obyektif menuliskan bila PKS harus dibela dari pemberitaan yang tidak benar. Begitupun dengan partai lainnya, kalau saya melihat ada berita yang tidak benar ttg partai tersebut, maka saya akan membelanya juga. Jadi, kalau gue bela PKS, masalah buat lo? (celotehan seperti ini saya dapatkan dari peserta didik saya yg sedang ABG, hehehe). Jadi kalau PKS sudah menjelaskan di websitenya, plus website lainnya, sebagai blogger saya berhak juga menuliskannya. Tak perlu ada klarifikasi lagi. Banyak teman blogger yang akhirnya memahami apa yang saya tuliskan. Clear, kata seorang teman blogger yang menuliskan komentarnya di facebook saya.
- Omjay di Google
Salam berpikir sehat juga demi kemanusiaan, dan rasa keadilan. Sekaligus juga salam blogger persahabatan.
Wijaya Kusumah (Omjay)
—————-
*Mari membangun peradaban dengan komentar yang bermartabat. Tulisan dibalas dengan tulisan. Logika dibalas dengan logika. Kebenaran datang dari Allah, kesalahan datang dari omjay sebagai manusia biasa.”
One thought on “Menyoroti Tulisan Omjay: Kalau Gue Bela PKS, Masalah Buat Lo?”