Usai berolah raga pagi dan menikmati nasi uduk mpok Minah, saya membaca koran kompas hari ini, Sabtu 4 Mei 2013.
Seperti biasanya, saya selalu membaca kolom opini di halaman 6 dan 7 terlebih dahulu. Ada judul yang menarik di halaman 7. Panik Sertifikasi yang dituliskan Doni Koesuma. Sedangkan di halaman 6, Acep Iwan Saidi menuliskan Pendidikan Minus Kebudayaan.
Bagi saya, kedua artikel opini itu bagus sekali, langsung menohok ke persoalan pokok, dan sangat penting dibaca oleh pejabat pemerintah yang berkantor di Kemdikbud Senayan Jakarta.
Terus terang selama seminggu ini ada sesuatu yang tidak enak di kalangan guru. Kami menjadi berebutan jam mengajar untuk memenuhi syarat 24 jam mengajar. Sebuah syarat yang harus diverifikasi di dapodik secara online agar tunjangan sertifikasi guru yang kami terima cair.
Tentu saja, ketentuan baru yang lagi-lagi tak berpihak kepada guru diberlakukan. Telah terjadi hukum rimba dalam dunia pendidikan kita. Guru tak lagi diajak berdialog. Pokoknya, harus 24 jam mengajar dan tak peduli jumlah kelas di sekolahnya sedikit. Terutama buat sekolah swasta yang muridnya memang sedikit, dan guru yang mengajar mata pelajarannya hanya 2 jam per minggu.
Kebijakan yang baru itu tentu saja menuai panik dan kontroversi di kalangan guru di Indonesia. Buat mereka yang jam mengajarnya sudah memenuhi 24 jam akan adem ayem saja, dan telah mendapatkan haknya sebagai guru profesional. Namun buat mereka yang jumlah jam mengajarnya sebenarnya sudah 24 jam, tetapi harus mengajar mata pelajaran lainnya tidak bisa dihitung oleh sistem yang dibuat oleh dapodik. Para guru pun dibuat panik untuk mencari tambahan jam mengajar di sekolah lain.
Saya bersetuju dengan solusi yang ditawarkan oleh Doni Koesuma dalam artikelnya. Hendaknya pemerintah membuat kebijakan pendidikan berdasarkan kondisi konkret di lapangan. Jangan mempersulit urusan guru di bidang administrasi ini. Sebab urusan ini tentu akan mengganggu kinerja guru, dan kebijakan 24 jam adalah kebijakan yang jelas tidak fair. Coba bandingkan dengan dosen yang sudah tersertifikasi. Waktu merekapun tidak full di kampus seperti kondisi guru di sekolah.
Melihat akan hal ini, tentu saja saya sebagai guru menjadi bingung sendiri dengan kebijakan pemerintah. Haruskah seorang guru mengajar di dua sekolah demi untuk memenuhi jam mengajar 24 jam? Mohon kiranya pemerintah memperhatikannya. Jangan sampai ada pemberontakan di kalangan guru yang akan jauh lebih dahsyat dari demo buruh di bundaran hotel indonesia beberapa hari lalu. Mereka akan membawa peserta didiknya untuk ikutan demo karena guru adalah penguasa di kelas. (hehehe)
Dari paniknya sertifikasi, jelas akan berdampak kepada pendidikan minus kebudayaan. Saya menjadi terinspirasi dengan artikel guru besar ITB ini. Acep Iwan Saidi menuliskan bahwa pemimpin itu harus paham. Dia harus “blusukan” seperti Jokowi yang akhirnya mengerti permasalahan. Bukan hanya menunggu laporan yang pada akhirnya ujian nasional menjadi amburadul seperti tahun ini. Giliran diminta tanggung jawabnya untuk mundur, langsung menyerahkannya kepada presiden.
Dialog nanpaknya kurang dikedepankan dalam kebijakan pendidikan. Selalu saja pemerintah menunjukkan kuasanya. Sama halnya dengan pemberlakuan kurikulum 2013. Guru harus patuh dan diminta menerima begitu saja tanpa ada proses dialog. Mereka berkampanye kalau kurikulum 2013 lebih bagus dari kurikulum sebelumnya. Padahal kalau “diobok-obok”, cuma ganti casing saja. Mirip ponsel yang diganti casingnya, sementara mesinnya masih sama saja.
Mereka yang mengkritik kurikulum dianggap melawan kekuasaan atau dibilang bukan pemain inti. Padahal sudah sangat jelas guru adalah pemain inti dalam pembelajaran. Pendidikan berubah menjadi pendidikan kuasa. Siapa yang tak suka silahkan minggir dan pemerintah selalu saja merasa tidak bersalah.
Untunglah, tahun ini mendikbud sudah meminta maaf akan pelaksanaan un yang amburadul itu, dan hanya meminta maaf pelaksanaan un di tingkat sma saja, padahal di tingkat smp pun masih banyak kesalahan dan pelanggaran yang dibuat oleh pemerintah. Anda dapat membacanya secara lengkap di berbagai media.
Pada akhirnya, pendidikan yang dibuat oleh kita menjadi pendidikan tanpa nilai. Kepongahan penguasa begitu sombongnya, dan kami para guru hanya diminta mengajar saja yang baik, dan siapkan administrasi pembelajaran dengan lengkap. Giliran evaluasi siswa, pemerintah dengan seenaknya mengambilnya. Para kroni pemerintah pun akhirnya mendapatkan rezeki dari proyek kemdikbud yang terkadang membuat kita mengelus dada. Dibutuhkan kesabaran tingkat tinggi untuk mengingatkannya.
Panik sertifikasi dan pendidikan minus kebudayaan semestinya tak perlu terjadi di negeri ini. Para guru semestinya sudah happy atau bahagia dengan tunjangan sertifikasinya. Biarkan dia malu sendiri ketika dapat uang sertifikasi, tetapi dirinya tidak menjadi guru profesional. Masyarakat yang akan menilainya.
Bagi kami para guru yang terus memperbaiki diri dan terus belajar sepanjang hayat akan terus berjuang agar pendidikan ini menjadi berbudaya dan berkarakter. Anak-anak harus dididik dengan keteladanan.Kebudayaan dibagun dari kesadaran dan bukan pemaksaan yang terus menerus dipaksakan. Saya pun tidak tahu apa yang akan terjadi nanti bila kurikuum 2013 yang belum siap itu dipaksakan juga diterapkan tahun ajaran baru ini.
Kita tunggu saja jalan ceritanya, dan izinkan saya bernyanyi lagu Betharia Sonata, “AKU MASIH SEPERTI YANG DULU”.
Salam blogger Persahabatan
Omjay