Membaca tulisan pak JK di koran Kompas, Kamis 2 Mei 2013 membuat saya tersulut dan terpicu menulis tentang ujian nasinal dan solusinya.
Tujuan pak JK untuk menggagas UN sebenarnya bagus. Tapi sayangnya beliau bukan pakar pendidikan sehingga kurang memahami apa yang sesungguhnya terjadi. Adanya UN di Indonesia bukan membuat mutu pendidikan semakin membaik, tetapi justru semakin memburuk. Data dan fakta menunjukkan akan hal itu.
Dalam buku hitam ujian nasional yang diterbitkan oleh Resist book tahun 2012, begitu banyak dituliskan oleh para pakar pendidikan, kenapa mereka menolak un dan memberikan solusi jitu jika un dihapuskan.
Bagi saya, buku ini sangat baik bila dibaca oleh mereka yang menentukan kebijakan. Termasuk juga pak JK yang telah menggagas UN. Terbukti, sudah lebih dari 10 tahun UN diselenggarakan mutu pendidikan kita masih rendah dan terus tertinggal dari negara lainnya. Mengapa? karena para pejabat negeri ini tak mau mendengar para praktisi dan pakar pendidikan bicara. Bahkan sudah banyak dari mereka yang menuliskannya secara akademik dan ilmiah. Tapi, lagi-lagi selalu dikalahkan dengan politik dan nafsu kekuasaan. Pendekatan yang digunakan bukan lagi pendekatan akademik, tetapi pendekatan kekuasaan.
Sayang buku hitam un ini belum dicetak ulang kembali. Banyak sekali orang yang ingin membaca buku ini. Di berbagai toko buku besar seperti Gramedia, Pusat Buku Palasari, dan Togamas buku ini selalu saja habis terjual karena isinya sangat mencerahkan pembaca. Saya beruntung mendapatkannya langsung dari ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI), Satria Darma. Beliau memberikan kepada saya di kampus UNJ Rawamangun ketika menjadi nara sumber Teacher Writing Camp (TWC) beberapa waktu lalu.
Saya berharap pak JK dapat melumat habis buku hitam ujian nasional. Juga pak menteri M. Nuh agar bisa melaksakan UN yang lebih baik kalau UN tetap ingin dilaksanakan. Namun bagi saya, UN sebaiknya dihapuskan, sebab hanya menghabiskan uang negara saja. Sebagai gantinya, laksanakan Ujian Sekolah yang kredibel dengan pengawasan ketat dari Kemdikbud melalui pengawas sekolah. Pemerintah harus melatih guru bagaimana membuat teknik penilaian siswa yang benar.
Apa yang dituliskan pak JK di kompas memang ada sedikit benarnya. Terutama tentang Orangtua, guru, pemerintah, dan anak didik mempunyai tujuan yang sama, yaitu meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, dan penguasaan ilmu pengetahuan generasi muda. Sebab, hanya kecerdasan dan ilmu pengetahuan itulah yang dapat meningkatkan kemajuan kita. Namun pak JK lupa, UN telah menghancurkan tujuan yang sama itu. UN dalam tingkat ilmplementasinya sungguh jauh panggang dari api. Orangtua, guru, pemerintah, dan anak didik justru malah menjadi stres karena sistem pengelolaan UN yang salah.
Solusinya adalah kembalikan kepercayaan kepada guru di sekolah. Tugas pemerintah tak perlu lagi mengerecoki urusan dewan kehormatan guru. Biarkan para guru bekerja dengan hati nuraninya. Insya Allah pendidikan ini akan maju dengan sendirinya.
Tugas pemerintah adalah meningkatkan terus mutu guru, dan melengkapi sarana prasarana. Uang yang besar dan hampir memakan biaya satu trilyun itu lebih baik digunakan untuk berbagai pelatihan guru dan perbaikan sarana prasarana sekolah. Bukan menjadi proyek pejabat pemerintah dan kroninya. Inilah sebenarnya sumber masalahnya. Rakyat sudah tak percaya lagi kepada pejabat yang kurang amanah.
Dalam tulisan pak JK di kompas dituliskan begini.
Lalu, apa beda ujian sekolah dan ujian nasional? Dalam ujian sekolah, pada umumnya guru menguji apa yang telah dia ajarkan, sedangkan dalam ujian nasional murid diuji apa yang seharusnya mereka ketahui di mana pun murid itu berada di Indonesia. Dengan demikian, tingkat kecerdasan manusia Indonesia akan merata antara murid-murid yang sekolah di Jakarta dan mereka yang bersekolah di daerah-daerah.
Saya tertawa ngakak dengan pernyataan di atas. Sebab ujian sekolah yang sebenarnya adalah guru menguji kompetensi siswa. Dengan demikian akan terukur kemampuan siswa setelah diuji. Beda halnya dengan ujian nasional yang hanya melatih siswa mengerjakan soal-soal UN. Kemampuan bernalar peserta didik kita pun menjadi rendah. Itu sudah bisa dilihat dari hasil berbagai tes internasional. Peserta didik kita semakin menurun dan terendah.
Kenyataannya, sejak tahun 2000 sampai sekarang kita tetap terpuruk di posisi terbawah menurut pemetaan global seperti PISA, TIMSS & PIRLS dan Learning Curve.
Hanya satu parameter yang di atas rata-rata global; hapalan. Yang lainnya, pemahaman, aplikasi, analisa, evaluasi, dan sintesa; jeblok! Kemampuan mana yang lebih dibutuhkan anak-anak kita di abad ke-21 ini?
Sudah cukup kita berdebat soal UN yang terbukti bukan hanya tidak berhasil, tapi merusak. Saatnya kita ubah! Ayo kita serukan kepada Mendikbud M. Nuh, “Berhenti jadikan UN sebagai syarat kelulusan!” Bantu kami sebarkan petisi ini.
Gagasan Jusuf Kalla dan Ujian nasionalnya harus dihapuskan demi perbaikan mutu pendidikan yang lebih baik di bumi ibu pertiwi. Sudah saatnya kita melihatnya dari sisi akademik dan bukan lagi politik. Percayakan penilaian siswa kepada guru, dan yakinlah bahwa guru indonesia yang profesional pasti akan mampu meluluskan peserta didiknya dengan nilai yang sesungguhnya. Bukan seperti sekarang ini, lulus UN 100 persen, tetapi ketika diujicobakan kembali dengan soal UN yang sama, banyak siswa yang tak sama nilainya dengan nilai sebelumnya (bahkan cenderung jeblok). Mari kita buktikan kebenarannya!
Salam Blogger Persahabatan
Omjay
9 thoughts on “Hapuskan Ujian Nasional yang Digagas Jusuf Kalla”