Beberapa Persoalan Teoritis dan Praktis Dalam
Pengembangan Kurikulum 2013
jimmy ph. paät
Pengantar
Informasi kemendikbudnas tentang akan dilaksanakannya Kurikulum baru, yaitu yang dikenal dengan sebutan Kurikulum 2013, sejak akhir tahun lalu, telah menimbulkan perdebatan, baik ilmiah maupun non ilmiah (baca politis). Perdebatan tersebut tampak di berbagai tulisan yang mengeritik kurikulum tersebut, seperti yang terbaca di berbagai media tulis, seperti Kompas , Koran Tempo, untuk hanya menyebut beberapa di antaranya, dan terdengar dan terlihat di media elektronik, seperti Metro TV.
Diskusi-diskusi kusus baik yang formal maupun yang informal mengenai kurikulum tersebut pun berlangsung di beberapa perguruan tinggi. Saya sebutkan saja salah satu diskusi yang menjadi banyak perhatian masyarakat ilmiah adalah diskusi kurikulum yang dilaksanakan Musyawarah Guru Besar ITB pada 13 Maret 2013.
Tanggapan-tanggapan politis pun tertangkap oleh kami, seperti yang terlihat di rapat dengar pendapat tentang Kurikulum 2013 di Komisi X DPR pada malam hari 25 Maret 2013. Para anggota komisi tersebut dengan pernyataan-pernyataan “politis”, seperti “saya belum mau menandatangani anggaran kurikulum ini sebelum ada penjelasan keuangan yang sebesar Rp 1 triliun lebih ini”, memberi gambaran kepada kami kurikulum 2013 masih dipersoalkan di gedung DPR.
Yang saya utarakan di atas adalah kritik terhadap kurikulum 2013. Tentu kritik tersebut telah ditanggapi kemendikbudnas. Tanggapan yang paling menarik tentu yang dikemukakan Bapak menteri sendiri melalui koran Kompas, 7 Maret, 2013. Singkatnya Bapak Menteri, M. Nuh mengatakan para pengeritik tidak paham apa yang dikritik. Perhatikan pernyataannya : “ Untuk itu ada baiknya memahami lebih dahulu konstruksi kompetensi dalam kurikulum sesuai koridor yang telah digariskan UUD Sisdiknas sebelum mengeritik (kami yang menggarisbawahi). Apa yang terbaca di paragraf terakhir tulisan orang nomor satu di Jalan Jendral Sudirman Kav 4-5 menunjukkan para pengeritik tidak paham kurikulum 2013.
Saya diundang panitia seminar ini untuk ikut membahas secara kritis Kurikulum 2013. Karena sudah cukup banyak yang telah mengeritik kurikulum tersebut, seperti saya kemukakan di paragraf di atas, saya bisa jadi menjadi bagian penambah jumlah daftar kritik terhadap Kurikulum 2013 yang, menurut apa yang saya tangkap, telah mengganggu atau bahkan meresahkan para guru baik di tingkat dasar, menegah dan perguruan tinggi. Teman terdekat saya, ketika mengetahui saya akan berdiskusi dengan para guru dan mahasiswi-a mengenai Kurikulum 2013 di hari Minggu ini, melontarkan pertanyaan kepada saya, “Apakah saya tidak hawatir ‘dilabel” oleh para petinggi di Jalan Jendral Sudirman Kav 4-5 sebagai guru yang tidak paham kurikulum 2013 tetapi mau mngeritik?” Jawaban saya ”kita lihat saja”.
Agar tidak dianggap tidak mengenal atau memahami kurikulum 2013 oleh para petinggi kemendikbudnas, maka saya mendiskusikan kurikulum yang telah memunculkan perdebatan ini dengan bertumpu pada “Naskah Akademik Pengembangan Kurikulum 2013” (selanjutnya saya sebut saja naskah akademik) yang telah dikeluarkan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Untuk itu diskusi saya ini saya mulai dari mengkaji naskah akademik tersebut. Kemudian, karena saya sebagai guru Bahasa Prancis sebagai bahasa asing, saya akan mengajak para peserta diskusi untuk melihat secara kritis “kompetensi inti dan kompetensi dasar Bahasa dan sastra Prancis”.
Isi naskah akademik
Raut wajah naskah akademik
Saya mengajak pertama-tama peserta diskusi untuk melihat ”fisik” atau ‘raut wajah” naskah akademik, sebelum kita membahas lebih jauh isi naskah tersebut.
Naskah akademik yang berjumlah 109 halaman terdiri dari Kata Pengantar yang ditulis Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Prof. Dr. Khairil Anwar Notodiputro (dua halaman); Daftar Isi (2 halaman); Isi yang terdiri dari 8 bab (99 halaman); Daftar Pustaka (6 halaman dengan jumlah buku 46 dan 10 Dokumen Peraturan perundang-undangan; dari 46 buku yang menjadi daftar pustaka, 17 buku yang memiliki kata curriculum pada judul buku. Dari tujuhbelas buku yang berkaitan dengan kurikulum, empat buku terbitan tahun 2000-an: satu terbitan tahun 2010; satu terbitan tahun 2008, satu terbitan tahun 2006, dan satu terbitan tahun 2000; selebihnya terbitan tahun 1990-an, 1980-an.
Jika kita melihat lebih jauh “raut wajah” naskah akademik, khususnya yang berkaitan dengan buku-buku yang menjadi rujukannya, kita hanya menemukan tiga buku yang tampak jelas berisi pembahasan teori-teori kurikulum, yaitu, Scchiro, M. S, Curriculum Theory: Conflicting Vision and Enduring Concerns (2008), Tanner, Daniel & Laurel N. Tanner, Curriculum Development: Theory into Practice (1980), Schubert, W. H., Curriculum Perspective, Paradigm, and Possibility (1986). Melihat “raut wajah” naskah akademik, tampak pembuatnya tidak memperhatikan referensi yang mutakhir. Perhatikan saja tahun terbitan buku rujukan. Yang menarik diperhatikan di halaman daftar pustaka, saya tidak membaca buku-buku acuan dengan perspektif tertentu. Misalnya buku-buku yang khusus membahas perspektif progresif, rekonstruksionis tidak menjadi acuan atau bacaan para penulis naskah akademik.
Pembacaan saya terhadap naskah akademik tentu tidak akan berhenti di tataran “raut wajah”, tetapi dilanjutkan ke “isi” naskah tersebut.
Tulang dan daging naskah akademik
Asumsi yang dipegang para petinggi kemendikbudnas dari Menteri hingga Wakil menteri, ketua Balitbang dan beberapa dari mereka di Puskurbuk adalah kurikulum yang dipakai hingga akhir tahun ajaran 2012-2013 tidak lagi sesuai dengan zaman sekarang atau saat sekarang yang sudah berubah. Asumsi ini bisa juga dibaca lebih spesifik, kurikulum yang ada sekarang sudah tidak lagi berlandaskan mengikuti teori kurikulum yang mutahir. Dengan kata lain kita sebagai guru di tahun ajaran baru 2013-2014 akan disuguhkan Kurikulum 2013 yang berlandaskan teori baru, perpektif teoritik baru. Pertanyaannya apakah benar Kurikulum 2013 berlandaskan perspektif teoritik yang baru. Pertanyaan lain adalah apa filsafat pendidikan dan pendekatan kurikulum yang menjadi landasan Kurikulum 2013. Pertanyaan yang terakhir ini menjadi perhatian saya.
Landasan Filsafat Kurikulum (Pendidikan)
Di dalam naskah akademik, tertulis lima nama aliran filsafat pendidikan : filosofi eksperimentalisme, rekonstruksi sosial, esensialisme, perenialisme, dan eksistensialisme. Kelima filsafat ini menjadi landasan Kurikulum 2013. Penggunaan kelima filsafat ini dilakukan para pembuat kurikulum 2013 karena mereka berpenganut apa yang disebut pendekatan eklektik atau yang saya sebut “pendekatan campur-campur”. Pendekatan ekletik ini telah dikritik Doni Koesoema. Koesoema “pilihan filsafat eklektik merupakan wujud kemalasan bepikir, simplifikasi persoalan dan pilihan jalan pintas yang paling gampang”. Ini yang menyebabkan Kurikulum 2013 terasa aneh.
Sebelum saya membahas Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Bahasa dan Sastra Prancis, saya mengajak untuk melihat sedikit lebih rinci uraian landasan filosofi poin1 di dalam naskah akademik. Ki Dajar Dewantara dirujuk untuk menunjukkan bahwa kurikulum harus berakar pada budaya lokal dan bangsa. Tentu ini tidak ada yang keliru. Pertanyaan yang muncul adalah “mengapa hanya unsur tersebut yang diambil dari falsafah Tokoh Kemerdekaan kita? Apa alasan tidak menarik unsur lain dari sang Tokoh Nasional Pendidikan kita, yang besar kemungkinan santat relevan juga untuk kehidupan berbangsa saat kini?
Seperti kita ketahui salah satu ciri landasan filsafat pendidikan Ki Hajar Dewantara adalah prinsip kemerdekaan . Karena itu pendidikan bagi Bapak Pendidikan Nasional kita tersebut adalah pendidikan (yang) memerdekakan. Pendidikan yang memerdekakan tersebut tidak saja merupakan ciri khas pendidikan Indonesia sebelum kemerdekaan, khususnya di lembaga pendidikan non kolonial, tetapi juga pendidikan yang telah mampu “membakar” semangat para putri-a bangsa Indonesia untuk melawan kolonialisme.
Pendidikan yang memerdekakan menurut Ki Hajar Dewantara berpangkal kemerdekaan. Yaitu pertama, pendidikan yang berdasarkan pada tidak hidup terperintah; kedua, pendidikan yang membawa anak didik berdiri tegak karena kekuatan sendiri; dan ketiga, pendidikan yang mengantar anak didik cakap mengatur hidupnya dengan tertib.
Pendidikan merdeka yang merupakan falsafah pendidikan à la Ki Hajar Dewantara mengantar guru untuk sanggup “berhamba kepada Sang Anak” Falsafah pendidikan semacam ini barangkali tampak berbau “radikal”. Besar kemungkinan aroma “keradikalan” falsafah pendidikan Ki Hajar Dewantara ini yang menyebabkan pendidikan yang memerdekakan tidak hadir menjadi pilihan landasan naskah akademik.
Kemerdekaan yang sesungguhnya telah menjadi landasan pendidikan kita jauh sebelum proklamasi kemerdekaan sudah sepatutnya menjadi pangkal kurikulum pendidikan nasional.
Unsur ketiadaan-kemerdekaan di dalam Kurikulum 2013 telah dipaparkan Iwan Pranoto . Guru Besar Matematika ITB tersebut mengutip Kompetensi Dasar matematika Kelas 1 poin 2.1: “Menunjukkan perilaku patuh pada aturan dalam melakukan penjumlahan dan pengurangan sesuai prosedur/aturan dengan memperhatikan nilai tempat puluhan dan satuan”.
Sikap patuh dalam matematik menurut Iwan Pranoto sangat bertolak-belakang dengan hakikat bermatematika yang prinsipnya membebaskan. Lebih lanjut Guru Besar Matematik ITB tersebut mengutarakan bahwa “matematik adalah sebuah semesta tempat kita semua dapat mempertanyakan, meragukan, dan mengembangkan pemikiran, tanpa takut untuk berbeda dengan mahluk yang bernama ‘kebiasaan”. Dalam konteks ini saya dapat mengatakan kembali bahwa prinsip pendidikan Ki Hajar Dewantara, yaitu kemerdekaan tidak saja menjadi prinsip kehidupan tetapi juga prinsip bermatematika dan berpikir. Dan ini jelas tidak hadir di dalam Kurikulum 2013.
Pendekatan Kurikulum
Penganalisaan pendekatan kurikulum merupakan sesuatu yang lazim di dalam kajian kurikulum. Di dalam naskah akademik tidak secara eksplisit menyebutkan pendekatan yang dipakai. Ini berbeda dengan filosofi kurikulum yang secara jelas dinyatakan dalam naskah akademik, yaitu filsafat eklektik. Sekalipun begitu tidaklah terlalu sulit untuk menangkap pendekatan yang menjadi tumpuan Kurikulum 2013.
Di dalam uraian penjelasan Kurikulum Berbasis Kompetensi dikemukakan bahwa kurikulum berdasarkan kompetensi secara historis mengacu kepada Ralph W. Tyler. Tokoh dalam ranah kurikulum dikenal dengan rasional Tyler (Tyler rationale). Mengikuti Allan C. Ornstein dan Francis Hunkins , pendekatan kurikulum yang menempel pada Tyler adalah pendekatan behavioristik (behavioral approach). Suatu pendekatan kurikulum yang berkembang sejak awal abad lalu. Pendekatan yang menekankan pada ide efisiensi sehingga pendekatan ini disebut oleh Raymond Callahan “pengkultusan efisiensi” (the cult of efficiency) . Pengkultusan terhadap efisiensi merasuk ke sekolah-sekolah dengan tujuan dapat lebih mudah mengontrol sekolah.
Melihat tumpuan pendekatan Kurikulum 2013 yang behavioristik, pada prinsipnya tidak berbeda dengan kurikulum 1975 yang berdasarkan tujuan atau outcomes. Dengan demikan tidak dapat dibenarkan jika kemendikbudnas menggembar-gemborkan Kurikulum 2013 dilakukan untuk mengikuti perubahan yang terjadi di dunia.
Kurikulum Bahasa dan Sastra Prancis
Sebagai guru bahasa Prancis sebagai bahasa asing, membaca judul “Kompetensi Inti dan Kompetensi dasar Bahasa dan Sastra Prancis”, mata terhenti beberapa detik di konsep “sastra Prancis”. Pertanyaan yang muncul: apakah yang dimaksud dengan sastra?; apakah memang diperlukan mengajarkan sastra Prancis di tingkat SMA yang kira-kira perkiraan saya tidak lebih dari 350 jam belajar bahasa Prancis dari kelas X sampai dengan kelas XII?
Pertanyaan saya pindahkan ke persoalan perumusan kompetensi dasar. Saya mengajak peserta diskusi untuk memperhatikan beberapa perumusan kompetensi dasar dari poin 2.1 sd 4.4. Saya pribadi bertanya-tanya ketika membaca 11 poin kompetensi dasar untuk kelas X. Perhatikan poin 2.2
“mencerminkan perilaku kerja sama responsive, dan proaktif dengan melakukan komunikasi/dialog berinteraksi dengan guru dan teman, dalam bentuk memberi informasi, bertanya, menjawab, memberi dan melaksanakan instruksi terkait dengann pembelajaran teks fungsional tentang identitas diri dan kehidupan sekolah”
Apa yang dimaksud dengan “mencerminkan …..” Bukankah siswi-a kelas X merupakan pelajar pemula murni (faux déboutants)? Dengan demikian bukankah “tujuan dan ketrampilan komunikatif kemampuan yang diharapkan dimiliki siswi-a” pemula murni (untuk menggunakan konsep didaktik bahasa Prancis sebagai bahasa asing “objectif et savoir-faire communicative) “memperkenalkan diri” dengan tidak lebih dari 5 kata, seperti Je m’appelle Salman atau Je suis Pras.
Coba perhatikan kembali poin 4.1 “ Mengolah informasi lisan berbentuk paparan atau dialog sederhana tentang identitas diri dan kehidupan sekolah”, dan 4.2 “Menyajikan informasi secara lisan dalam bentuk paparan atau dialog sederhan secara nalar tentang identitas diri dan kehidupan sekolah”. Bukankah ini perumusan yang dipersulit dan akhirnya tidak jelas ? saya sebagai guru dengan sederhana akan merumuskan dua poin tersebut menjadi satu, yaitu “objectif et savoir-faire communicatifs” : se présenter dan presenter quelqu’un et quelquechose (“memperkenalkan diri sendiri” dan “memperkenalkan seseorang dan sesuatu”).
Perhatikan point 3.1 sd 3.4 yang perumusannya diawali dengan kata kerja “memahami”. Mari kita lihat lebih dekat 3.1 “memahami bunyi ujaran (kata, frasa atau kalimat)”. Perumusan ini, searah dengan yang telah dibahas Bambang kaswanti Purwo, menunjukkan guru harus menjelaskan lebih dahulu karakteristik bunyi dalam bahasa Prancis. Ini bisa menjadikan kelas bahasa Prancis di kelas X seperti kelas mata kuliah Fonetik dan Fonologi di Jurusan Pendidikan Bahasa Prancis semester 2 yang berisi para calon guru Bahasa Prancis di SMA.
Keanehan perumusan kompetensi dasar ini tidak lepas dari filsafat pendidikan dan pendekatan kurikulum yang dipegang Kurikulum 2013, seperti juga yang telah dikemukakan Doni Koesoema.
Untuk menutup diskusi ini saya mengajak untuk memperhatikan Rancangan Kurikulum Nasional Inggris 2014.
Teching should focus on enabling pupils to make substantials progress ini one of the following languages: French, German, Italian, Mandarin, Spanish, Latin or Ancient Greek […] The focus of study in modern languages will be on practical communication […] Pupils should be taught to :
– listen attentively to spoken language and show understanding by joining in and responding
– explore the patterns and sounds of language through songs and rhymes and link the spelling, sound and meaning of words
– engage in conversation; ask and answer questions; express opinions and respond to those of others; seek clarification and help
– speak in sentences, using familiar vocabulary, phrases and basic language structures
– develop accurate pronunciation and intonation so that others understand when they are reading aloud or using familiar words and phrases
– present ideas and information orally to a range of audiences
– read carefully and show understanding of words, phrases and simple writing
– appreciate stories, songs, poems and rhymes in the language
– broaden their vocabulary and develop their ability to understand new words that are introduces into familiar written material, including through using a dictionary
– write phrases from memory, and adapt these to create new sentences, to express ideas clearly
– describe people, places, things and actions orally and in writing
– understand basic grammar appropriate to the language being studies, such as (where relevant): feminine, masculine and neuter forms and conjugation of high-frequency verbs; key features and patterns of the language; how to apply these, for instance, to build sentences; and how these differ from or are similar to English.
Betapa bedanya perumusan tujuan atau kemampuan yang diharapkan diperoleh siswi-a Inggris dan di Indonesia. Jelas tampak kurikulum nasional Inggris jauh lebih sederhana dan mudah dipahami tidak saja guru tetapi juga orang tua murid disbanding kurikulum 2013 yang akan dipaksakan pemerintah untuk dijalankan para guru.
Tentu kita sebagai guru tidak bisa begitu saja menerima pemaksaan pelaksanaan kurikulum yang seperti saya kemukakan di atas jauh dari yang seharusnya.
Terima kasih untuk teman-teman guru telah bersedia menyediakan waktu untuk mendengar paparan saya.
Pingback: Kurikulum 2013, Benar-benar Ditelanjangi di Kampus UNJ oleh Praktisi Pendidikan
Pingback: Masalah Dalam Kurikulum 2013 | Cafe Inggris