Fenomena pendidikan karakter mengumandangkan resonansinya di setiap alam ide praktisi pendidikan, mulai dari penatar konsep hingga penatar praktik. Penulis berharap, konsep pendidikan seperti ini dapat dinikmati oleh seluruh institusi pendidikan di Indonesia, sehingga jelas evaluasinya pada saat berbenturan dengan kelemahannya. Kita akan temukan generasi baru yang santun berbahasa, dan berbudaya. Itulah mengapa kita harus mendidik insan berkarakter melalui Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).
Pendidikan sangat diperlukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan pendidikan bangsa ini akan cerdas dalam berpikir, dan bijak dalam bertindak. Agar cerdas dalam berpikir, dan bertindak diperlukan pendidikan budaya dan karakter. Dengan begitu moral dan agama mereka akan terjaga dalam pohon pendidikan. Dalam pohon pendidikan itu, Prof Arief Rachman menyampaikan kepada kami guru di Labschool : “akan terlihat mereka berakar moral dan agama, berbatang ilmu pengetahuan, beranting amal perbuatan, berdaun tali silaturahim, dan berbuah kebahagiaan dunia dan akhirat. Itulah hasil dari sebuah pendidikan yang berbudaya”.
Budaya adalah hasil karsa, dan karya manusia yang dapat dinikmati dan dihargai. Dia tumbuh dalam kearifan lokal masyarakat kita. Sedangkan karakter adalah perangai atau tingkah laku yang menjadi watak manusia dalam berinteraksi kepada sesama. Oleh karena itu pendidikan budaya dan karakter harus diberikan kepada para generasi muda yang telah melek Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Generasi muda yang bukan hanya cerdas OTAK saja, tetapi juga WATAK. Generasi ini biasa disebut C-Generation.
Aktivitas belajar C-Generation terlahir dari dunia digital yang terus berkembang. Oleh karena itu para penduduknya disebut digital native. Dalam penduduk digital native, aktivitas belajar C-Generation tidak lagi menggunakan cara-cara konvensional. Mereka sudah terbiasa dengan cara-cara modern yang mengikuti perkembangan teknologi web 3.0 yang sebentar lagi akan kita gunakan di negeri ini. Belajar tidak lagi di dalam kelas, dan bertatap muka secara langsung, tetapi bisa dimana saja, dan kapan saja. Di sinilah diperlukan pendidikan budaya dan karakter. Dengan begitu etika atau budi pekerti tetap terjaga. Mereka tetap mampu berbahasa dengan baik sebagai alat penyampaian pesan.
Pendidikan budaya dan karakter diberikan dengan cara-cara alamiah. Dia tumbuh dari generasi yang telah melek TIK. Diperlukan peran TIK yang begitu besar dalam proses pembelajarannya sehingga budaya, dan karakter itu berubah menjadi cara-cara ilmiah yang membuat para pendidik atau guru tak bisa lepas dari 5K. Konvergensi, Kontekstual, Kolaborasi, Konektivitas, dan Konten kreatif jelas akan menguasai dunia di abad 21 ini. Suka atau tidak suka, sebagai bangsa yang berbudaya kita harus mengikutinya.
Arus deras 5K akan dihadapi oleh kita yang mendapat julukan “digital imigran”(pendatang baru dalam dunia digital). Kita harus belajar teknologi menuju masyarakat berpengetahuan. Dibutuhkan pendidikan budaya dan karakter unggul untuk menghadapinya. Kita pun harus belajar sepanjang hayat. Sayangnya, tak semua pengajar atau pendidik mau terus belajar, sehingga banyak pendidik yang belum melek TIK. Padahal dalam dunia TIK diperlukan banyak sekali PEMANDU agar generasi muda kita tak meninggalkan budaya dan karakter bangsa. Mereka tak bisa menulis seenaknya di media sosial, dan harus mampu berpikir sebelum memposting sebuah artikel ke internet.
TIK begitu cepat sekali perkembangannya, dan telah membuat sendi-sendi kehidupan masyarakat terpengaruh karenanya. Semua hal yang bersangkut paut dengan hajat hidup orang banyak akan menggunakan TIK untuk memudahkannya. TIK menjadi sebuah alat bantu manusia yang terus menerus melayani manusia dari mulai bangun tidur hingga mau tertidur lagi. Banyak orang menjadi tergantung karenanya. Orang akan merasa ada yang hilang dalam dirinya bila ponsel atau gadget yang dimilikinya tertinggal di rumah. Budaya dan karakter manusia lambat laun dipengaruhi oleh kemajuan TIK ini. Banyak orang yang tak bisa lepas dari smartphone kesayangannya.
Menurut pakar internet Dr. Onno W. Purbo, Pemanfaatan TIK yang paling tepat filosofi-nya sederhana, yaitu:
- Guru harus menjadi produsen, dan menghasilkan sesuatu
Para pendidik diharapkan mampu mendorong peserta didiknya untuk mampu menjadi penghasil pengetahuan baru atau informasi baru, dengan begitu bangsa ini tak melulu menjadi bangsa pemakai atau bangsa yang hanya mengekor informasi dari Negara lain yang sudah berkembang teknologinya. Oleh karenanya, kemampuan menulis sebagai salah satu keterampilan berbahasa harus terus diajarkan di sekolah-sekolah kita. Pembelajaran bahasa tak hanya melulu soal teori, tetapi merupakan aplikasi nyata yang diharapkan dari hasil membaca. Mereka yang rajin membaca, biasanya akan mampu menulis dengan baik.
- Guru harus menghasilkan sesuatu yang cocok dengan kebutuhan pembaca/masyarakat
Para pendidik juga dituntut untuk menghasilkan sesuatu karya tulis ilmiah (KTI) yang hasilnya sangat dibutuhkan oleh masyarakat, khususnya masyarakat berpengetahuan yang sangat haus akan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Namun, untuk bisa mencapai 2 hal tersebut di atas, para pendidik dan peserta didik harus:
- Menjadi konsumen yang baik, banyak membaca, kritis terhadap yang dibaca (wawasan luas), dan terus belajar dari orang lain yang berilmu pengetahuan. Jadilah pelopor dan bukan pengekor.
- Harus banyak berdiskusi hal-hal baru (sensitif terhadap kebutuhan pembaca / masyarakat), sehingga hasilnya nyata dirasakan oleh masyarakat Indonesia.
Pada dasarnya, TIK cuma sebagai alat bantu saja, tidak lebih. Dia tidak beda dengan mesin tik, cangkul, kompor, dan lain-lain semua alat bantu saja. Dibutuhkan pendidikan budaya dan karakter agar pemanfaatan alat tersebut menjadi optimal dan maksimal tanpa harus kehilangan kearifan lokal. Kearifan lokal harus dijaga, karena merupakan warisan leluhur yang sangat baik sekali. Oleh karenanya, pembentukan karakter peserta didik harus dimulai dari keluarga lalu kemudian sekolah.
Dari sisi akademik dan non akademik, seorang pendidik seharusnya menyisipkan pendidikan karakter kepada para peserta didik. Melalui olah pikir, olah hati, olah raga, olah rasa, dan karsa para guru membangun karakter mereka selama tiga tahun di sekolah. Semua itu menyatu dalam budaya sekolah yang tetap eksis dan selalu disempurnakan.
Dalam menerapkan pendidikan budaya dan karakter melalui TIK harus dipikirkan benar dampak positif, dan negatifnya. Sebab perkembangan TIK selalu bermata dua. Di satu sisi menguntungkan, dan sisi yang lain merugikan. Para guru harus mampu memberikan materinya dengan cara-cara interaktif, dan membuat para peserta didiknya menjadi kreatif. Pembelajaranpun menjadi menyenangkan. Mereka digiring bukan hanya sebatas mencari dan memperoleh informasi, tetapi juga mampu menciptakan informasi di internet.
Mereka harus diarahkan untuk mampu menjadi produsen pengetahuan, dan bukan hanya menjadi konsumen pengetahuan saja. Gurupun tak terlalu dominan di kelas karena pembelajaran berpusat pada siswa. Guru lebih sering sebagai fasilitator dan motivator pembelajaran.
Satu kali contoh keteladanan lebih baik daripada 1000 kali perkataan. Para guru harus mampu memberikan contoh yang baik dalam memanfaatkan TIK khususnya internet secara sehat. Dengan begitu mereka akan melihat keteladanan dari gurunya dalam pemanfatan TIK di sekolah. Para peserta didikpun pada akhirnya akan mengikuti pula dalam menjalan internet sehat dengan hati yang sehat pula. Hati yang sehat didapat dari pembinaan pendidikan budaya dan karakter yang terus dikembangkan oleh para guru.
Contoh yang paling mudah dalam pendidikan karakter adalah jujur. Para guru harus mampu menanamkan kejujuran dalam diri setiap peserta didik. Tak berkata bohong (dusta) dan mampu berkata benar dalam segala sikap dan tingkah lakunya. Hal itu akan dengan mudah tertangkap jelas dari facebook para guru, bila para peserta didiknya telah berteman dengannya. Oleh karena itu jadikan mereka sahabat agar guru dan siswa menjadi dekat. Ajaklah dialog atau diskusi sehingga terjalin komunikasi yang positif antara guru dan siswa.
Semakin banyak pendidik yang paham akan manfaat internet, maka akan semakin banyak pemandu yang akan mengarahkan generasi C-Generation untuk mampu memanfaatkan 5K (Konvergensi, Kontekstual, Kolaborasi, Konektivitas, dan Konten kreatif) dengan benar.
Kesimpulan
Para C-Generation itu harus diarahkan bukan hanya sebagai bangsa penikmat teknologi, tetapi harus mampu kita arahkan untuk menjadi produsen pengetahuan. Agar bisa menjadi produsen pengetahuan, maka budaya baca dan tulis menulis harus benar-benar dilatihkan melalui pemanfaatan TIK secara benar. Para guru pun harus belajar ngeblog agar mampu memberikan keteladanan kepada para peserta didiknya. Dengan ngeblog, para guru dan siswa menjadi terbiasa menulis.
Alangkah indahnya bila para C-Generation itu mampu berinternet secara sehat, menyebarkan berita dengan benar, dan mampu menceritakan pengalamannya yang mengesankan dalam blog-blog mereka. Dengan begitu kemampuan menulis mereka pun akan terasah dengan baik, karena sering menulis di blog. TIK bukan lagi kependekan dari Teknologi Informasi dan Komunikasi, tetapi telah berubah menjadi “Tampak Indah Karakternya”. Mereka adalah generasi yang mampu berbahasa dan berbudaya Indonesia dengan baik dan benar. Mari mendidik insan berkarakter melalui TIK.
Daftar Bacaan:
- TIK: Menulis Blog untuk Pendidikan, Wijaya Kusumah, Penerbit Indeks, 2012
- Menjadi Guru Tangguh Berhati Cahaya, Wijaya Kusumah, Penerbit Indeks, 2012
- Menulislah Setiap Hari, dan Buktikan Apa yang Terjadi, Penerbit Indeks, 2012
Salam Blogger Persahabatan
Omjay
3 thoughts on “Mendidik Insan Berkarakter Melalui TIK”