Setelah menonton film batas, dan mengikuti acara peluncurannya yang memukau beberapa waktu lalu (12 Mei 2011), saya pun terhenyak dengan wajah dunia pendidikan kita. Pemutaran Film Batas di Epicentrum XXI Kuningan Jakarta membuat saya tersadar bahwa pemerataan, dan layanan pendidikan di negeri ini belum tersebar secara merata. Alangkah baiknya, bila pemerintah tak menjadikan Ujian nasional (UN) sebagai bentuk ujian kelulusan sebelum pemerataan pendidikan dilakukan. Alangkah naifnya bila sekolah-sekolah di Jakarta diadu dengan sekolah-sekolah di perbatasan dalam UN. Dengan keterbatasan SDM Guru, dan juga sarana serta prasarananya, sebaiknya UN di daerah perbatasan hanya dijadikan sebagai pemetaan saja, dan bukan sebagai bentuk evaluasi kelulusan secara nasional. Sebab ketimpangan masih terjadi di sana-sini. Keadilan harus ditegakkan dalam dunia pendidikan kita.
Alangkah baiknya, para penentu kebijakan pendidikan menonton film batas ini. Sayang, pak mendiknas , Muhammad Nuh tak hadir dalam pemutaran film batas itu. Semoga ketika ditayangkan perdana pada 19 Mei 2011 nanti, para pejabat di kementrian pendidikan nasional menonton film batas yang bagus ini. Usul saya, film ini diputar dilingkungan kemendiknas. Biar banyak pejabat di kemendiknas lebih mengetahui kehidupan masyarakat di perbatasan. Apalagi, kru film batas juga telah membuat film dokumenter tentang kehidupan, dan wajah asli penduduk di daerah perbatasan Indonesia-Malaysia ini. Film ini juga wajib ditonton oleh para guru, dan juga peserta didiknya agar mereka tahu keadaan sekolah di perbatasan.
Film batas menceritakan tentang perjuangan seorang wanita yang bernama Jaleswari (diperankan oleh Marcella Zalianty). Jaleswari, dengan ambisi dan kepercayaan penuh, mengajukan diri untuk mengambil tanggungjawab memperbaiki kinerja program CSR bidang pendidikan yang terputus tanpa kejelasan. Dia menyanggupi masuk ke daerah perbatasan di pedalaman kalimantan, dan menjanjikan dalam dua minggu Ketidak-jelasan itu dapat diatasi. Kabarnya, semua guru yang dikirimkan ke daerah perbatasan itu satu persatu mengundurkan diri, dan tak mau mengajar lagi. Hanya 1 guru yang masih bertahan, dan guru asli daerah itu yang bernama Adeus (diperankan oleh Marcell Domits).
Kedatangan Jaleswari ke perbatasan kalimantan ini juga sebenarnya untuk menutupi kesedihannya. Jaleswari baru saja ditinggalkan mati oleh suaminya. Sementara, pada saat itu dia sedang hamil muda. Orang tua Jaleswari berusaha melarang pergi anaknya itu, tapi tekad Jaleswari telah bulat. Dengan tekad yang benar-benar bulat, lalu berangkatlah Jaleswari ke daerah perbatasan Kalimantan Barat yang jaraknya sangat jauh sekali.
Di tengah perjalanan, ban mobil yang ditumpanginya bocor, dan dengan amat terpaksa Jaleswari harus menunggu di mobilnya sampai esok harinya. Di sanalah untuk pertama kalinya Jaleswari bertemu dengan Arif (diperankan Arifin Putra) seorang pemuda yang sangat baik hatinya. Mobil yang menolongnya adalah mobil milik Arif. Mobil Arif yang lewat dan baru datang keesokan harinya, membantu jaleswari ke desa yang dituju. Mellaui perjalanan yang cukup melelahkan sampailah akhirnya Jaleswari di tempat yang dituju.
Ternyata suatu kehendak belum tentu sejalan dengan kenyataan. daerah perbatasan di pedalaman Kalimantan memiliki pola kehidupannya sendiri. Mereka memiliki titik pandang yang berbeda dalam memaknai arti garis perbatasan. Mereka tidak terlalu perduli tentang kawasan perbatasan atau batas negera. Mereka hidup dengan kesadaran wawasan budaya dayak yang tidak terpisahkan oleh demarkasi batas politik. Peristiwa kehidupan yang unik telah membawa Jaleswari dalam situasi yang pelik. Konflik batin terjadi ketika dia terperangkap pada masalah kemanusiaan yang jauh lebih menarik dan menyentuh perasaan dibanding data perusahaan yang sangat teoritis, dan terasa kering karena pada hakekatnya masalah rasa sangat relatif dan memiliki kebenaran yang berbeda.
Jaleswari yang bukan seorang guru, akhirnya ikut mengajar di sekolah, dan memberikan pencerahan baru untuk anak-anak sekolah di sana. Berkat bantuan Borneo (diperankan Alifyandra) akhirnya banyak anak yang mau sekolah dan dibimbing oleh Jaleswari.
Jaleswari berada dalam batas pilihan. Karisma hutan dan pola hidup masyarakat telah menyadarkan dirinya bahwa upaya memperbaiki kehidupan masyarakat tidak bisa dipisahkan dengan adat istiadat setempat. Peristiwa kehidupan manusia yang melanggar adat dan mampu menyengsarakan sesamanya tergelar jelas di depan mata. Ada pihak-pihak yang tak menyukainya, dan membuatnya dihujat oleh masyarakat setempat.
Mampukah Jaleswari bangkit, dan melewati batasnya? Mampukah dia berjuang untuk masyarakat yang lebih baik? Bagaimana nasib dunia pendidikan di daearah itu? Jawabnya ada dalam film batas yang dapat anda saksikan pemutaran filmnya pada 19 Mei 2011 yang akan diputar di bioskop kesayangan anda.
Salam Blogger Persahabatan
Omjay
2 thoughts on “Wajah Pendidikan Kita di Perbatasan (Liputan Peluncuran Film Batas) ~HABIS~”