Dalam kompas ekstra edisi ketiga halaman 20-21, Senin, 25 April 2011 dengan tema Edukasi dituliskan dialog antara pak Anies Baswedan (Rektor Universitas Paramadina) dengan wartawan kompas. Dialog itu diberi judul besar UNIVERSITAS MERUPAKAN ESKALATOR SOSIAL EKONOMI. Lalu dibagian terakhir ditayangkan foto pak Anies, dan tulisan tangannya serta dilengkapi pula tanda tangan beliau. Namun yang membuat sangat menarik dari tulisan tangan beliau adalah pesannya. “Pendidikan adalah eskalator sosial ekonomi. Sebuah instrumen rekayasa struktural masyarakat masa depan”.
Kita tentu memahami apa yang dimaksudkan oleh pak Anies Baswedan. Sekarang ini biaya kuliah di perguruan tinggi atau universitas sangat mahal. Dahulu siapapun bisa masuk universitas, dan bisa berkuliah di sana. Apakah dia kaya atau miskin, tidak menjadi masalah. Asalkan pintar, dia bisa masuk universitas. Kini, kita mengkhawatirkan hanya sedikit saja orang miskin yang bisa akses ke perguruan tinggi atau universitas. Itulah yang dikhawatirkan oleh pak Anies Baswedan. Dialog lengkapnya anda bisa membacanya di kompas ekstra dengan tema edukasi halaman 20-21, Senin 25 April 2011, atau klik di sini.
Sebagai seorang pendidik, saya pun memiliki kecemasan yang sama. Universitas atau perguruan tinggi saat ini hanya bisa dinikmati oleh orang kaya saja. Artinya kesempatan menikmati pendidikan di jenjang pendidikan tinggi bagi orang miskin akan amat langka. Bila pemerintah tidak segera turun tangan, maka pendidikan tidak lagi berpihak kepada si miskin, dan ini akan berakibat fatal di kemudian hari. Akan terjadi kecemburuan sosial yang berdampak kepada revolusi sosial dimana ketidakpercayaan rakyat kepada pemerintah semakin nyata.
Biaya mengelola universitas memang sangat mahal. Tantangan terberat saat ini adalah jika universitas di Indonesia bisa mengembalikan fungsinya sebagai eskalator sosial ekonomi. Tetapi biayanya sangat mahal. Begitulah pernyataan Pak Anies Baswedan dalam dialog dengan wartawan kompas Myrna Ratna, dan Try Harijono.
Terus terang, saya gusar juga dengan keadaan universitas kita saat ini. Sebab tak semua orang bisa naik eskalator itu. Pendidikan untuk setiap orang belum terjadi di negeri ini. Ketidak-adilan masih menjadi kisah sedih yang memilukan hati. Kemana lagi orang miskin mengadu untuk bisa mengenyam pendidikan tinggi?
Hal yang lebih parah lagi, lulusan perguruan tinggi ternyata tak mampu menyiapkan tenaga kerja profesional, dan kurangnya pendidikan kewirausahaan diberikan kepada mahasiswa di tingkat awal. Wajar saja, banyak dari mereka yang hanya mencari pekerjaan saja, dan tak mampu menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Ribuan sarjana menganggur, dan jadilah mereka pengangguran terdidik.
Lebih miris lagi ketika membaca cerita tentang lulusan perguruan tinggi ternama yang tak siap berwirausaha ketika perusahaan tempatnya bekerja bangkrut. Seperti yang saya baca di http://www.bppnfi-reg4.net/index.php/component/content/article/5-informasi/39-mari-berwirausaha.html.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. R Edy Haryatno Fitriyanto (41) tak pernah mengira hidupnya bakal berubah drastis. Ketika PT Dirgantara Indonesia (PT DI) di Bandung melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran terhadap 6.551 karyawannya, Edy Haryatno Fitriyanto termasuk di dalamnya.
Sarjana Teknik Nuklir lulusan Universitas Gadjah Mada ini tersingkir dari PT DI tahun 2003. Protes dan unjuk rasa tak mampu mengubah keputusan perusahaannya. Berbagai usaha telah dicoba untuk menyambung hidup. Dari beternak kelinci, ayam, itik, berjualan rokok, dan keripik singkong. Namun, kerja serabutan tersebut gagal atau tidak memuaskan. Akhirnya, dia memutuskan untuk berjualan es krim di di pusat perbelanjaan Ramayana, Kota Cimahi, Jawa Barat.
Edy, yang dulunya bekerja sebagai pemrogram dan pendesain di bagian Engineering Research Development Center PT DI, harus menerima kenyataan ini. Bukan hanya Edy yang membuka usaha ini. Sedikitnya ada tujuh orang rekannya yang bernasib serupa, berjualan es krim.
“Itu karena kecakapan teknik yang tinggi tidak disertai dengan entrepreneurship (kewirausahaan) sehingga tidak dapat di manfaatkan secara efektif di tengah masyarakat,” ujar Agung B. Waluyo, PhD, dosen Universitas Ciputra, Jakarta.
Itulah sedikit cerita tentang lulusan perguruan tinggi kita yang belum siap menghadapi ganasnya persaingan kerja. Kita harus mampu mempersiapkan para sarjana kita untuk mampu juga berwirausaha, dan menciptakan lapangan pekerjaan baru. Dengan begitu, seorang sarjana akan mampu mandiri, karena telah dibekali ilmu kewirausahaan yang dapat diaplikasikan dalam kehidupannya sehari-hari.
Pendidikan adalah eskalator sosial ekonomi. Kita sudah harus mempersiapkan anak-anak kita untuk mampu menghadapi persaingan global, dan memiliki jiwa kewirausahaan. Jika tidak, maka kita akan menjadi negara tertinggal dengan semakin banyaknya pengangguran terdidik. Perguruan tinggi tak lagi melahirkan sarjana-sarjana berkualitas, karena alasan minimnya dana dan begitu mahalnya biaya kuliah di perguruan tinggi.
Kita berharap, semakin banyak orang Indonesia bisa ikut eskalator pendidikan tinggi, dan tanpa melihat lagi status sosial ekonomi mereka. Perguruan tinggi harus mampu menyelenggarakan pendidikan untuk semua dengan manajeman bisnis yang handal. Hal itu tentu akan terjadi bila dosen-dosen di perguruan tinggi segera mengupdate diri dan menjadi dosen yang memiliki jiwa entrepreneurship dan memiliki konsep pembiayaan. Sehingga mereka mampu menjadi manajer yang tidak hanya unggul di bidang akademisi, tetapi juga unggul secara finasial manajemen. Mereka mampu mengembangkan universitas tidak hanya sebagai lahan bisnis semata tetapi mampu mengembalikan fungsi universitas sebagai eskalator sosial ekonomi. Seperti apa yang telah dilakukan Universitas Paramadina dengan pak Anies Baswedan sebagai rektornya.
Salam Blogger Persahabatan
Omjay