Hidup berumah tangga itu harus saling berbagi dan saling memahami. Apalagi bila kita sudah punya momongan atau anak. Kita pun dipanggil mama dan papa oleh anak-anak kita. Ada juga sih yang memanggilnya bapak dan ibu, enyak dan babeh, atau umi dan abi. Ada juga yang memanggil mimi dan pipi kayak artis KD dan Anang Hermansyah.
Tapi berbeda halnya dengan kedua buah hatiku, intan dan berlian. Mereka memanggil ibunya dengan sebutan mama dan memanggil bapaknya dengan sebutan ayah.
Hari ini mamanya anak-anak pergi. Pergi untuk suatu urusan bisnis. Bisnis yang membantu menopang kondisi ekonomi keluarga kami. Berbelanja barang dagangan ke pasar tanah abang di Jakarta Pusat.
Sebagai seorang guru yang berpenghasilan tidaklah besar, istriku berusaha keras mengelola uang yang ada menjadi cukup untuk keperluan keluarga. Jadilah istriku berbisnis. Berbisnis kecil-kecilan, karena modalnya memang kecil. Belum bermodal besar seperti para konglemerat itu, yang sangat mudah meminjam uang di bank.
Istriku memang orang yang ulet. Letak dan likak likuk pasar tanah abang sudah terbiasa dilaluinya. Istriku tahu banget tempat dimana barang yang akan dibelinya. Anehnya lagi, istriku itu sangat dikenal oleh preman pasar tanah abang. Kalau istriku membawa barang, maka para preman itu dengan ikhlas membantu istriku. Pokoknya barang-barang itu sampai ke mobil tanpa harus istriku bekerja keras mengangkatnya. Hal itu aku ketahui dari temannya yang pernah ikut berbelanja ke pasar tanah abang.
Pada saat istriku pergi itulah yang membuatku salut sama istriku. Semua pekerjaan telah tuntas dia kerjakan sebelum pergi. Dari urusan dapur sampai tempat tidur, semuanya beres. Tinggallah aku bersama kedua anakku, intan dan berlian yang sangat bawel dengan rumah yang sudah tertata rapih.
Dititipi dua orang anak ternyata bukanlah persoalan sepele. Dari mulai mamanya berangkat, kedua anak ini tak bisa akur. Kakaknya tak mau mengalah dengan adiknya. Adiknya tak mau kalah juga dengan kakaknya. Hanya urusan tempat pensil saja, terkadang menjadi ribut dan membuat saya tak berkonsentrasi dalam menulis di kompasiana yang akan dilombakan hari ini. Belum lagi sulit sekali masuknya. Busyet dah!
Ketika mama pergi, urusan yang biasanya lancar dalam tulis menulis, kini agak sedikit terganggu. Apalagi ketika Berlian anak keduaku meminta dibuatkan susu, dan meminta disuapin pula untuk makan siangnya. Manja sekali anak ini. Tak mau makan sendiri. Alasannya, kalau disuapin ayah makannya serasa nikmat. Berlianpun bisa menambah nasi sampai dua piring.
Begitulah manjanya anakku ini. Sampai-sampai urusan tulis menulis menjadi terhambat lagi. Waduh, kok sulit banget ya posting hari ini???
Selesai makan, kupikir aku bisa menulis kembali untuk kompasiana. Tetapi lagi-lagi berlian minta dibuatkan teh manis hangat. Katanya, teh manis buatan ayah sangat enak rasanya. Begitulah berlian memujiku. Kalau sudah begitu, ya sutralah saya bikinkan teh manis kegemarannya.
Kini, aku bisa sedikit lega. Berlian sudah anteng dengan teh manisnya. Tinggallah aku melanjutkan menulis. Menulis cepat di kompasiana.
Ide yang ada di kepalaku tiba-tiba menghilang. Jadilah saya terkesima di depan laptopku. Bingung apa yang akan aku lakukan. Saya seperti orang pikun yang tak tahu apa yang harus kulakukan. Apalagi aku pengen banget mendapat hadiahnya yang lumayan bagus.
Daripada aku bingung apa yang akan aku tuliskan, lebih baik kutuliskan ini saja sebagai kisah nyataku. Seorang ayah yang ditinggal pergi istrinya untuk berbisnis. Melayani anak-anaknya dengan sepenuh hati. Tak ada gengsi, karena seorang suami harus juga bisa pekerjaan istri.
Aku pun semakin tahu, bahwa pekerjaan istri memang sangat luar biasa. Tak salah bila aku memujinya dan mengatakan, “Istriku memang wanita hebat dan gagah”.
Ketika mama pergi, banyak pembelajaran yang aku dapatkan. Banyak pengalaman dan pengetahuan yang kuperolah. Akupun menjadi lebih tahu bahwa istriku, mama dari anak-anakku adalah wanita perkasa yang telah membuatku sadar sebagai seorang suami bahwa pekerjaan ibu rumah tangga tak akan pernah berhenti dari bangun tidur sampai tidur lagi.
Ketika mama pergi, membuatku menjadi malu sendiri. Betapa egosinya aku selam ini sebagai seorang suami. Mau enaknya sendiri, dan merasa bahwa tugas seorang suami lebih berat daripada seorang istri. Maafkan aku istriku. Kutahu aku belum menjadi suami yang mengerti apa yang diinginkan istriku.
Ketika mama pergi, menyadarkanku bahwa aku harus senantiasa menyayangi anak-anakku dengan penuh pelayanan, dan membuat mereka nyaman berada dalam dekapan ayahnya. Terima kasih istriku.
Salam Blogger Persahabatan
Omjay
One thought on “Ketika mama Pergi”