Kalau saya diminta untuk memilih, antara sekolah bertaraf internasional dengan sekolah bertaraf tradisional, maka saya akan memilih sekolah bertaraf tradisional. Mengapa?
Sekolah berlabel internasional terkesan mahal, dan sekolah dengan label tradisional terkesan murah.
Padahal justru sebaliknya. Sekolah tradisional itu adalah sekolah unik yang sangat mahal harganya. Dia terlahir dari situasi nyata yang dialami oleh para kaum marjinal yang terpinggirkan untuk mendapatkan sebuah pendidikan yang layak. Menyisihkan rupiah sedikit demi sedikit agar bisa sekolah. Berusaha keras agar bisa sekolah yang merupakan investasi masa depan.
Sekolah tradisional mengandalkan kearifan lokal yang terjaga. Mengutamakan kegotongroyongan dan kesederhanaan. Mampu menterjemahkan arti pendidikan yang sesungguhnya sesuai ajaran Ki Hajar Dewantoro. Kultur tetap terjaga melalui budaya sekolah yang terus dikembangkan. Struktur pun semakin disempurnakan.
Sedangkan sekolah internasional cenderung lebih bersifat kemewahan dan nampak sekali invidividualisme terasakan. Si kaya seolah-olah layak untuk sekolah di sini dan si miskin hanya bisa melongo dan bermimpi. Pendidikan pun di gelar dengan mengandalkan tokoh pendidikan dari barat. Padahal hal itu sebenarnya sudah tertulis jelas dalam buku ki Hajar Dewantoro. Tak salah bila terjadi kritikan di sama-sini sehingga menimbulkan kasta baru dalam dunia pendidikan kita.
Kita terkadang menjadi tidak pede dan merasakan kalau yang berbau internasional itu harus berasal dari barat dan berbahasa asing, padahal belum tentu cocok diterapkan di negeri ajaib ini.
Kita terkadang lebih senang menerima sesuatu dari barat ketimbang dari negeri sendiri yang gemah lipah loh jinawi.
Kita terkadang lebih suka bila diajarkan oleh guru asing daripada guru sendiri. Seolah-olah guru asing lebih profesional daripada guru lokal.
Wahai para guru dan orang tua. Jangan biarkan guru-guru asing itu mengajar di sekolah-sekolah kita, karena struktur dan kultur mereka berbeda dengan kita. Janganlah karena ingin disebut internasional, kita pun mengimport guru dari luar negeri.
Sekolah bertaraf tradisional mengajarkan nilai-nilai luhur pancasila dengan sepenuh hati. Memahami kalau bangsa ini penuh dengan keragaman dan budaya daerah yang sangat membanggakan. Melestarikan bahasa daerah sebagai bahasa ibu sehingga menarik wisatawan asing untuk belajar di sekolah tradional ini. Bermain gamelan dan angkung yang menjadi alat musik kebanggaan sekolah tradisional. Itu baru alat musik di pulau jawa, belum yang di luar pulau jawa.
Sekolah internasional mengajarkan kepada peserta didik bahwa kita memiliki aneka warna kulit. Tetapi sayang, terlihat kasta di sekolah itu. Seolah-olah yang kaya berhak bermain alat musik modern, dengan peralatan band yang lengkap. Bernyanyi dan menari ala orang barat seperti group band kenmaan “the beatles”. Menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi di antara sesama mereka. Tidak salah memang, tapi kurang membumi.
Alangkah dahsyatnya bila kekurangan dan kelebihan sekolah-sekolah itu dikolaborasikan. Sekolah internasional dengan ciri tradisonal tetap harus terperhatikan. Memadukan dunia barat dan timur dan meramunya dengan budaya daerah sehingga menjadi dunia baru yang dialami peserta didik kita. Mereka pun menjadi bangga menjadi bangsa Indonesia yang memiliki keragaman berbahasa, keragaman budaya, dan keragaman beragama.
Ingatlah bahwa bahasa persatuan kita adalah bahasa Indonesia. Bahasa inilah yang diujikan dalam ujian nasional. Tetapi kenapa nilai bahasa Indonesia lebih rendah daripada bahasa Inggris? Sebuah tanya tak terjawab karena kita memang melupakan jati diri sebagai bangsa. Perlu sebuah sekolah yang mampu go internasional tetapi juga tak melupakan ketradisionalannya.
Tak mudah memang, tetapi bisa. Sebab ada sekolah yang sudah melakukan itu. Mau tahu nama sekolahnya? Labschool Jakarta.
Salah satu sekolah perintis pendidikan berkarakter.
Sekolah terbaik untuk pendidikan putra-putri anda.
Salam Blogger Persahabatan
Omjay
9 thoughts on “Sekolah Bertaraf Internasional & Sekolah Bertaraf Tradisional”