Internet Masuk SD, Siapkah Kita?
http://newspaper. pikiran-rakyat. com/prprint. php?mib=beritade tail&id=82737
SEORANG guru salah satu SD di Bandung bercerita dengan bangga kepada saya. “Internet sudah masuk ke sekolah saya,” tuturnya. Saya tanya pada beliau, apa yang dia ajarkan pada anak-anak kelasnya—bapak ini kebetulan guru kelas dua. “Saya ajarkan untuk menggunakan Google, mesin pencari,” katanya. Lalu? “Hebat sekali, dengan Google, kita bisa mencari apa saja. Tinggal klik-klik saja, lantas informasinya muncul di layar. Nah, sekarang anak-anak saya suruh menyelesaikan tugas sekolahnya dengan mencari informasi di Internet. Tidak cukup kan kalau hanya mengandalkan buku paket,” kata bapak guru yang baik itu. Melihat kilau kebanggaan di mata beliau, saya tidak tega untuk mengekspresikan perasaan saya yang sesungguhnya: cemas!
Di SD lain, kebetulan belum ada fasilitas Internet. Tetapi, demi mengejar ketertinggalan, guru lain mencari akal. “Memang tidak ada internet di sekolah kami. Tapi bukan berarti saya tidak bisa mengajarkan internet pada murid-murid,” tutur guru ini. “Saya ajarkan bagaimana mencari informasi menggunakan kata-kata kunci seperti dalam Google, lalu saya minta mereka mencarinya di warnet,” ujarnya. Warnet! “Apa Bapak menemani anak-anak masuk warnet?” tanya saya. “Oh, tidak perlu. Mereka bisa ke sana sendiri, toh warnet ada di mana-mana di Bandung ini,” tuturnya bangga. Kali ini saya tidak bisa menyembunyikan kecemasan saya…
Pertanda Kemajuan?
Selama ini, berkembang pandangan di tengah masyarakat bahwa teknologi identik dengan kemajuan pembangunan. Maka, ketika booming internet tiba, semua menyambutnya dengan antusias, menerima segala kemudahan dan fasilitas yang ditawarkan internet.
Sayangnya, acap kali antusiasme yang muncul menyambut teknologi baru, tidak dibarengi dengan perenungan yang cukup kritis seputar manfaat dan nilai gunanya. Padahal, yang namanya teknologi di mana pun selalu bagaikan dua permukaan dalam sekeping koin. Ada sisi positif, ada pula negatifnya bila dipakai berlebihan atau digunakan secara keliru karena tak dipahami esensinya.
Mari kita teruskan cerita kedua guru tadi. Setelah mendengar cerita mereka, saya minta beliau bersama-sama mempraktikkan cara mengunduh informasi melalui internet. Andaikan kita beri tugas kepada murid-murid untuk menulis paper tentang “demam berdarah”, kira-kira, kata kunci apa yang akan diketikkan? “Demam berdarah, atau db,” kata seorang guru. “Nyamuk,” kata guru yang lain. Saya minta kata yang kedua, “nyamuk”, diketikkan pada Google. Maka, muncullah pada layar monitor nama-nama situs: “nyamuk-wikipedia bahasa Indonesia”, “nyamuk—free download. Mosquito repeller”. “Nyamuk.com – …. (ah, saya tidak tega menulisnya)’. Saya minta guru-guru tersebut untuk mengklik situs terakhir. Dan, pucatlah wajah-wajah beliau…
Tidak perlu saya jelaskan, apa isinya nyamuk.com. Anda tentu lebih tahu. Tapi yang jelas, isi nyamuk.com tidak ada hubungannya dengan nyamuk penyebab demam berdarah yang jadi topik paper tugas anak-anak tadi. Nyamuk.com adalah sejenis situs yang mengeksploitasi seks, lewat gambar maupun lelucon jorok—jelas-jelas bukan situs aman buat anak-anak, bahkan remaja dan orang dewasa sekalipun!
Jika anak-anak disuruh ke warnet untuk mencari informasi, mari kita pikirkan konsekuensinya lebih jauh. Apa yang kiranya bakal terjadi? Apa yang bakal diunduh oleh murid-murid kita tercinta? Sepanjang yang saya tahu, tidak ada warnet yang mau berpayah-payah melarang anak-anak di bawah umur menjadi pelanggannya. Dan, sedikit sekali petugas warnet yang peduli dengan konsekuensi membiarkan anak di depan internet tanpa mengaktifkan filter pengaman, atau meng-on-kan Safe Mode. Bahkan tampaknya, pemahaman terhadap aktivasi penyaring pun, tidak dimiliki oleh petugas-petugas atau pengusaha warnet! Maka, membiarkan anak masuk warnet tanpa pendampingan, sama saja dengan membiarkan mereka masuk ke sarang harimau, dan menyerahkan mereka menjadi “makanan” situs-situs yang tidak bertanggungjawab. ..
Edukasi internet
Diskusi yang berlangsung setelah simulasi tadi berakhir sungguh-sungguh seru. Guru-guru mencemaskan pengaruh internet, tetapi juga tidak berani membayangkan konsekuensi ke depan jika anak tidak bisa menguasai teknologi internet di masa depan. Bagaimana solusi yang tepat? Perlukah anak-anak SD diajari berinternet ria? Atau, nanti saja setelah cukup usia? Cukup usia itu, pada umur berapa tahun? Lagi pula, anak-anak kan sudah kadung tahu internet? Memangnya bisa dilarang begitu saja?
Memutuskan kontak dengan internet, pada zaman sekarang ini, membutuhkan upaya yang luar biasa. Nyaris tidak mungkin! Lagi pula, realitasnya, anak-anak akan hidup di zaman yang serbadigital. Mau tidak mau, mereka harus dipersiapkan agar mampu menjadi khalayak yang bisa eksis dan berperan dalam masyarakat informasi—jangan sampai ketinggalan jaman!
Tetapi, ada pola pikir yang harus diubah sehubungan dengan penggunaan internet. Pertama, soal akses. Pada tahapan kelas berapa anak-anak bisa diperkenalkan dengan internet? Ketika segala sesuatu bisa diselesaikan dengan mengeklik, perpustakaan- perpustakaan mungkin akan kosong, buku-buku akan dibiarkan berdebu tak tersentuh tangan-tangan mungil yang biasa memegangnya dengan penuh hasrat. Kecintaan terhadap buku pun menghilang, dan stamina membaca pun tidak akan terbangun. Semuanya digantikan dengan model “klik” yang serbacepat, serbainstan.
Kedua, soal security. Internet adalah medium yang aksesnya terbuka. Bisa diakses siapa saja, bisa menerima posting atau kiriman dari mana saja. Maka, isinya sangat beragam—dari yang mendidik, sampai yang menjerumuskan. Jika anak dibiarkan masuk ke dalam rimba raya dunia maya, sudahkah kita siapkan perlindungan bagi mereka?
Bicara soal perlindungan, setidaknya terdapat tiga jenis proteksi yang bisa disiapkan. Perlindungan pertama berupa filter-filter pengaman, seperti Net Nanny Parental Controls, Safe Eyes, Cyberpatrol, hingga K9 Web Protection yang menyediakan perangkat lunak yang bisa diunduh secara gratis. Ini merupakan perlindungan yang bersifat mekanis. Perlindungan jenis lainnya adalah mediasi, berupa pemberlakuan jam-jam khusus dan durasi (lamanya waktu) penggunaan Internet. Termasuk, peraturan menyangkut situs-situs yang boleh dikunjungi (dan tidak boleh!) serta pendampingan terhadap anak ketika mengakses internet. Tentu saja, pendampingan ini tidak asal-asalan, tetapi harus dilakukan oleh orang yang betul-betul paham dengan tugasnya! Perlindungan ketiga bersifat self-protection, yaitu membentengi anak dari pengaruh buruk internet dengan menumbuhkan kapasitas media literacy pada anak, khususnya, literasi internet. Anak harus dibikin melek internet! Perlindungan jenis ketiga ini sangat penting dan merupakan isu pendidikan multimedia serta masyarakat Informasi saat ini. Disadari, perlindungan mekanis atau mediasi jenis apa pun tidak akan efektif untuk mengatasi dampak buruk internet, jika tidak disertai dengan pembekalan kepada anak agar mereka bisa mengakses dan memanfaatkan internet secara kritis dan bijak.
Nah, menimbang faktor-faktor ini, pertanyaannya bukan lagi “perlukah internet masuk SD?” Melainkan, siapkah sekolah-sekolah membuka akses internet bagi siswa-siswanya? Sudahkah, ayah, ibu, dan bapak ibu guru?
Sumber:
(Santi Indra Astuti, dosen Fikom Unisba, pegiat Bandung School of Communications Studies)***