Saya memperbaiki diri saya–dan saya harus bersyukur karena memiliki jawaban ini–dengan menggunakan konsep saya bernama “mengikat makna”. Konsep ini mengajak saya untuk menjalankan kegiatan membaca dan menulis secara bersamaan. Membaca memerlukan menulis dan menulis memperlukan membaca. Kegiatan membaca sudah sangat jelas akan dapat memperbaiki diri saya. Bagaimana dengan menulis?
Pertama-tama, saya mengikuti petunjuk Mark Levy, penulis Accidental Genius, bahwa menulis itu bagaikan merekam jejak-jejak pikiran kita. Dengan membaca-kembali tulisan yang kita hasilkan, kita bagaikan meneliti apa yang kita pikirkan di masa lalu. Apakah mungkin kita memperbaiki pikiran (diri) kita tanpa lebih dahulu mengenali pikiran yang ingin kita perbaiki itu?
Kemudian, setelah Mark Levy, saya ingin mengikuti pendapat Dr. Mihaly Csikszentmihalyi yang menulis buku bagus Flow. Dr. Mihaly mengajari saya untuk mengalirkan diri saya ketika menulis. Berpijak pada pandangan Dr. Mihaly, saya senantiasa mengawali tulisan saya dengan kata ganti orang pertama–kadang menggunakan “aku” dan kadang menggunakan “saya”.
Agar ketika menulis saya dapat benar-benar mengalirkan diri saya, temuan Roger Sperry pun saya gunakan secara hampir mendekati sempurna. Menurut Sperry, setiap diri pasti memiliki dua belahan otak: kiri dan kanan. Dua belahan ini memiliki fungsi yang amat berbeda: kiri teratur, kanan bebas. Saya harus menggunakan otak kanan lebih dahulu ketika mengawali menulis agar kebebasan tercipta.
Otak lanan yang saya miliki ini kemudian saya namai sebagai “ruang privat” untuk menulis. Saya pasti akan tersendat-sendat menulis dan penuh keraguan ketika menulis dengan menggunakan otak kiri. Agar otak kiri saya tidak berfungsi, saya membayangkan sedang menulis di “ruang privat” ketika mengawali menulis. Akhirnya mengalirlah saya….
Lewat temuan Dan Goleman, Emotional Intelligence, kegiatan menulis saya bertambah asyik dan menyenangkan. Kok bisa? Kegiatan menulis saya bisa asyik dan menyenangkan karena saya dapat melibatkan emosi saya. Saya kemudian dapat menggali diri saya secara lebih dalam. Saya juga dapat “membasahi” tulisan-tulisan saya dengan pelbagai “rasa” emosi.
Berkat Dear Diary-nya Carmel Bird, akhirnya tulisan-tulisan saya yang melibatkan diri saya benar-benar tidak rigid dan tidak kering. Lewat tulisan-tulisan saya, hal-hal subtil yang terjadi pada diri saya kemudian dapat saya rasakan. Saya diajak untuk mengenali diri saya–lewat tulisan saya sendiri–secara luar-dalam. Emosi memang luar biasa….
Berikutnya, saya harus berterima kasih kepada Tony Buzan, Gabriele Rico, Joyce Wycoff, dan Nancy Margulies. Buzan, penemu metode “pemetaan pikiran”, telah mengingatkan saya bahwa menulis yang baik itu adalah menulis dengan menggunakan otak kiri dan otak kanan. Rico, dalam Writing the Natural Way, lebih mempertegas lagi tentang pentingnya “menggambarkan” terlebih dahulu apa yang mau saya tulis.
Wycoff bahkan mengajak saya untuk “membuka lebar-lebar pikiran” saya. Dengan “alat” apa agar pikiran saya dapat dibuka lebar-lebar”? “Dengan pemetaan pikiran,” tegas Wycoff. Lantas, ujung yang paling penting dari semua ini adalah di tangan Margulies. Dia menulis buku berjudul Mapping Inner Space. Buku ini membantu saya dalam mengeluarkan “ruang batin” saya lewat menulis.
Dan gong dari semua itu adalah riset Dr. James W. Pennebaker yang termuat dalam buku-mencerahkannya, Opening Up. “Jika kamu dapat menulis secara BLAK-BLAKAN (opening up), kamu akan merasakan sebuah mukjizat,” demikian kurang-lebih pesannya. Mukjizat menulis? Ya, karena dengan menulis secara mengalir-bebas tanpa hambatan, kamu akan disembuhkan dari pelbagai tekanan yang menderamu.
Luar biasa bukan efek-dahsyat menulis? Begitulah cara saya memperbaiki diri saya.
Salam,
Hernowo Hasim