Penelitian Tindakan

Eligibilitas Action Research (AR) sebagai Disertasi
di Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta
Oleh: Conny R. Semiawan

I. Pendahuluan

Akhir-akhir ini ahli pendidikan profesional berpendapat bahwa nilai dari suatu riset harus dipandang sebagai suatu aktivitas yang merupakan bagian integral dari suatu karya profesional. Sebaliknya, sebelumnya, para akademisi menuntut bahwa riset adalah hak mereka untuk diperlakukan terhadap pekerja profesional. Riset (research) ditandai oleh suatu systematic inquiry yang memiliki ciri, prinsip, pedoman, prosedur yang harus memenuhi kriteria tertentu.

Ada banyak alasan mengapa seperangkat peneliti yang melakukan riset terhadap perangkat manusia yang lain tidak memperoleh hasil yang praktis terhadap komunitas pendidikan yang pada umumnya adalah suatu masyarakat yang self-monitoring (Barthelsmen, 1972, Walker, 1975 dalam Mc Niff, 1992). Karena itu mulailah suatu gerakan baru yang dikenal dengan “practitioner educational research” yang adalah bagian dari profesionalisme, artinya adalah perpanjangan (extension) dari karya profesional bukan suatu penambahan (additional), karena merupakan bentuk belajar yang adalah intrinsic outcome dari pengalaman profesional. Ini juga menuntut bentuk keterlibatan yang dilandasi pengalaman yang secara intrinsik bersifat edukasional.
Pengembangan pengertian terhadap inisiasi dan inovasi praktis kini bukan lagi hak prerogatif elit akademisi, melainkan merupakan tanggung jawab pekerja profesional pada umumnya, suatu cita-cita demokrasi, sosial dan politis, bergerak dari warga yang kreatif, dan bukan dari mereka yang menunggu sabda dari atas.
Berbagai tulisan tentang hal ini dengan berbagai deskripsi, metoda, contoh karya dapat dibaca antara lain di Mc Niff (1992) : Elliot et al, 1974; Nixon (Ed), 1981; Kemmis et al, 1982; Elliot, 1982; Walker, 1985; Carr and Kemmis, 1986; Winter, 1987; dan terutama dalam Series of Classroom Action Research Network Bulletins, Nos 1-9, 1978-1989.

II. Konsep Action Research (AR) dan Classroom Action Research (CAR)
1. Action Research, Classroom Action Research, Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
Elliot (1982 dalam Mc Niff, 1992) merumuskan AR sebagai “Situasi sosial dengan pandangan untuk meningkatkan kualitas tindakan di dalamnya …, seluruh proses, reviu, diagnosis, rancangan, implementasi, efek monitoirng yang menghadirkan hubungan (link) antara pengembangan profesional dan evaluasi diri”.
Oleh karena itu pekerja profesional tidak mungkin menjadi objek para peneliti kecuali bila ada ikatan riset kolaboratif. Nilai AR bagi para profesional adalah tidak melihat adanya split dari landasan teori dan pemahaman praktis, sebagaimana juga ilmu pendidikan diperuntukkan bagi dan digali dari praktek pendidikan pendidikan (Brezinka, 1985). Dengan demikian terjadilan alih fokus.
Jadi riset seperti ini memfokus pada cara guru secara kritis melihat ke dalam karyanya di kelas, dengan tujuan utama meningkatkan pembelajarannya dan kualitas pendidikan di sekolah melalui analisa, refleksi serta observasi, mengembangkan professional judgment menuju otonomi dan emansipasi. Gerakan untuk diperlakukan sebagai profesional, dan bukan sebagai pegawai negeri juga terjadi di negara Barat (Lawton, 1989: 89 dalam Hopkins 1991). Hal ini disertai pernyataan (Arthur Bolster, 1983: 295, Hopkins, 1991) bahwa riset tentang belajar dan mengajar hampir tidak berdampak terhadap praktek pendidikan.
Riset dalam pendidikan sampai dengan permulaan abad 20 dilaksanakan melalui paradigma riset psikostatistik dengan eksperimentasi terkontrol dan kajian hipotesa dengan mengakses perlakukan efektivitas melalui kelompok acak berdasarkan disain Fisher tahun 1930. Para pendidik pada waktu itu ingin menghubungkan pengajaran dengan riset menggunakan disain agricultural-botany dalam setting pendidikan. Kekuatan paradigma Fisher adalah pengakuan terhadap sample acak, karena setiap anggota populasi memiliki kesempatan yang sama untuk terlibat dalam percobaan riset. Oleh karena itu sampling memiliki kemungkinan atau menjadi alat peluang (device of chance) untuk mengadakan riset pada skala besar. Hipotesa Fisher dalam perangkat agricultural-botany tidak dijabarkan dari teori ilmiah. Efek dari hasil eksperimen adalah prosedur alternatif yang menghadirkan probabilitas (apabila situasi/kondisi sama), yang akan berhasil sama terhadap tanaman di ladang lain (Stenhouse, 1979). Ukuran ladang dan tanaman tidak sama dengan aktivitas pendidikan, sehingga cara riset ini tidak cocok untuk aktivitas pendidikan.
Stenhouse (1979: 79 dalam Tashakkori, e.a, 1998) tokoh terkemuka AR, mengatakan: Perlakuan guru terhadap anak ibarat tukang kebun yang memperlakukan setiap tanaman berbeda sesuai kebutuhannya, dan bukan seperti petani yang menstandadisasikan perlakuan sebagai tanaman yang distandarisasikan pertumbuhannya. Masalah yang lebih mendalam adalah tindakan yang bermakna. Interaksi guru-murid atau murid-murid akan menghasilkan belajar yang efektif atau akan menterjadikan tindakan yang bermakna.
Menurut Stenhouse: Hanya pendekatan riset yang dilandasi realitas budaya kelas merupakan pendekatan yang sesuai. Melalui berbagai perkembangan seperti antara lain: Stenhouse’s: An Introduction to Curriculum R & D (1975), Elliot’s : Action Research for Educational Change terbentuklah model AR oleh Ford Teaching Project yang bernama Classroom Action Research (CAR) Network.
Model Classroom Action Research (CAR) atau Penelitian Tindakan Kelas (PTK) telah disebarkan melalui World Bank Project nomor IBRD 3797 IND untuk Guru Sekolah Menengah (PGSM).

2. Scientific inquiry versus naturalistic inquiry
AR maupun CAR (PTK) dilatar belakangi oleh tradisi Hermeneutis yang adalah interpretasi yang didasarkan pada ilmu dunia kemanusiaan, dibedakan dari dunia alamiah. Orientasi Hermeneutis ini dilandasi oleh pengertian Verstehen yaitu pemahaman kebermaknaan yang merupakan keterkaitan pengertian, fenomena atau bagian tertentu dari keseluruhan yang bermakna. Verstehen adalah kondisi ontologis dari intersubyektivitas, bukan semata empati terhadap pengalaman orang lain, melainkan juga pengertian, yang termasuk kemampuan bahasa sebagai media organisasi kehidupan sosial manusia, dalam hal ini kehidupan kelas di sekolah. AR maupun CAR (PTK) termasuk apa yang biasanya disebut pendekatan kualitatif (Qual), yaitu suatu orientasi naturalisitis.
Berbeda dari Qual, penelitian yang biasa disebut scientific inquiry melihat dunia sebagai kesatuan yang nyata yang merupakan proses yang berkelanjutan dan terbagi dalam seri subsistem yang berdiri sendiri dan fragmentaris serta disebut variabel (Guba & Lincoln, 1985: 56). Penelitian naturalistis fokusnya pada yang sifatnya berbeda, divergen dan jamak, namun mendetek interelasinya, sedangkan paradigma scientific inquiry bersifat konvergen, tunggal, fragmentaris, independen dan fokus pada persamaan untuk dapat digeneralisasikan. Jadi fokus naturalistic inquiry, umumnya bersandar pada realitas jamak, sebagaimana lapis kulit sebuah bawang putih, saling melengkapi, meskipun dilihat dari perspektif berbeda kenyataan (Guba & Lincoln, 1985: 57). Dengan demikian, kebenaran untuk AR dan CAR juga bersifat jamak dan menampilkan diri dalam berbagai bentuk kebenaran. Lapisan-lapisan tersebut secara intrinsik berinterelasi sehingga membentuk pola kebenaran. Pola-pola ini harus dijelajahi lebih jauh, bukan saja untuk dikendalikan, tetapi lebih-lebih lagi untuk difahami, apalagi dalam situasi kelas di mana anak manusia sedang belajar. Paradigma naturalistic inquiry bertolak dari asumsi bahwa terjadi interaktivitas antar peneliti dan data, karena kolektor data adalah anak manusia yang terkena efek persepsi informasi yang dikembangkannya.

Peneliti yang merupakan naturalistic inquirer bertolak dari pendapat bahwa kebenaran realitas yang bersifat jamak dan multidimensional bisa berubah dari konteks yang satu ke konteks yang lain dan memperhatikan berbagai interaksi yang kompleks antar individu yang berbeda-beda. Meskipun pengertian belajar adalah perubahan yang relatif permanen dikarenakan pengalaman yang diperolehnya dari lingkungannya, namun manusia memiliki realitas yang berbeda-beda dan adalah konstruktor dari pengetahuannya sendiri, sehingga hasil perubahan itu “comes from within”.

III. “Perang” Paradigma Positivisme Logis dan Naturalis
Untuk memahami perang paragidma antara landasan berfikir positivis dan naturalis yang dilandasi oleh filsafat ilmu, terutama sesudah perang dunia ke II, yang oleh para pelopornya (Lincoln & Guba, 1985 dalam Tashakkori, 1998), sering dikonotasikan masing-masing dengan pendekatan kuantitatif (Quan) dan pendekatan kualitatif (Qual), ditampilkan tabel kedua paradigma, sbb.:

Filsafat Ilmu
Positivis Naturalis
1. Ontologis
(ciri realitas) Hanya ada satu realitas Realitas jamak, dikonstruksikan
2. Epistemologis Hubungan antara the knower and the known = independent Tidak terpisahkan antara the knower dan the known
3. Axiologi Inquiry = value free Tidak bebas nilai
4. Generalisasi Kemungkinan adanya generalisasi time and context free Tidak mungkin adanya generalisasi time/context free
5. Hubungan causal Ada sebab nyata yang mendahului atau bersamaan dengan efeknya Tidak bisa dibedakan antara sebab dan efek
6. Logika Deduktif : tekanan pada hipotesa/teori Induktif. Tekanan yang khusus ke yang umum atau teori grounded
Posisi – hubungan subjek-objek
– nilai dan fakta terpisah
– mencari hukum – hubungan subjek-subjek
– mixed nilai – fakta
– mencari pemahaman

Masing-masing pendekatan memiliki kekuatan dan keterbatasan. Di bawah ini tabel dari kekuatan dan keterbatasan Quan dan Qual.

Pendekatan
Quan/Qual
Kekuatan

Keterbatasan
Positivis Logis (Quan) – Ukuran yang terstandardisasikan
– Homogenitas respons dalam kategori terbatas
– Sample dalam jumlah besar
– Dapat dibandingkan melalui perhitungan statistik
– Memungkinkan generalisasi – Validitas tergantung konstruksi instrumen dan karakteristik sample (bias)
– Kebermaknaan penelitian bagi responden tidak diperkarakan
– Dampak hasil penelitian kecil bagi praktek pendidikan
– Diseminasi biasanya second- hand (melalui buku, artikel dan pembelajaran, Hitchock, 1994)
– Basic research tidak memperkarakan masalah praktek
– Value-ladeness of inquiring* (risetnya sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai peneliti)
– Theory-ladeness of facts (riset* dipengaruhi teori dan hypotesa kerangka fikir yang dipakai peneliti)

– Nature of reality (pengertian realitas dikonstruksikan sesuai orientasi pendidikan)
Naturalistic (Qual) – Selected issues dikaji in depth/ detail
– Tidak terhalang menggali informasi yang kaya melalui sample kecil
– Intervensi perbaikan situasi tertentu
– Transferability specific setting to another
– Shared Decision Making (SDM) – Situasional tidak selalu dapat digeneralisasikan
– Internal validity : researcher = instrument – validitas tergantung pengalaman, kemampuan pelaku (credibility)**

Khusus AR/CAR – Adopsi model teacher research
– Perolehan peningkatan kemampuan riset
– Mengkaji isyu esensial dalam PBM lebih kritis
– Meningkatkan cara pendekatan sistematis pelaku riset
– Memahami bukti kenyataan (tidak bias) – refleksi-deskripsi
– kemitraan-misionaris
– riset-tindakan
(Sumber: Patton, Hitchock, Mc Niff, Tashakkori, e.a)

* Lihat halaman sepuluh
** Credibility of conclusion derived from linking data and divergence of ideas

Sebenarnya sejarah membuktikan bahwa dalam dunia ilmu terjadi perkembangan penggunaan metoda dalam penelitian ilmu sosial dan prilaku, sebagai berikut:
Sejak abad 1930 s/d 1950 : mono method
Setelah 1960 – 1980 : mixed method
Sejak 1980 ke atas : mixed model studies

Secara lebih rinci kita ikuti evolusi pendekatan metodologis dalam ilmu sosial dan ilmu perilaku.

The Evolution of Methodological Approaches
In the Social and Behavioral Sciences (Sumber Tashakkori, e.a:)

Period 1: The Monomethod or “Purist” Era
(circa the nineteenth century through 1950s)
A. The Purely Quantitative Orientation
1. Single Data Source (QUAN)
2. Within One Paradigm/Model, Multiple Data Sources
a. Sequential (QUAN/QUAN) Acceptance QUAL
b. Parallel/Simultaneous (QUAN + QUAN)
B. The Purely Qualitative Orientation
1. Single Data Source (QUAL)
2. Within One Paradigm/Method, Multiple Data Sources
a. Sequential (QUAL/QUAL)
b. Parallel/Simultaneous (QUAL + QUAL)

Period II: The Emergence of Mixed Methods
(circa the 1960s to 1980s)
A. Equivalent Status Designs (across both paradigms/methods)
1. Sequential (i.e. two-phase sequential studies)
a. QUAL/QUAN Acceptance mixed
b. QUAN/QUAL Qual + Quan
2. Parallel/Simultaneous
a. QUAL + QUAN
b. QUAN + QUAL
B. Dominant-Less Dominant Designs (across both paradigms/methods)
1. Sequential
a. QUAL/quan
b. QUAN/qual Application Qual/
2. Parallel/Simultaneous distinction to all
a. QUAL + quan phases or research
b. QUAN + qual
C. Designs With Multilevel Use of Approaches

Period III: The Emergence of Mixed Model Studies
(circa the 1990s)
A. Single Application Within Stage of Study*
1. Type of Inquiry – QUAL or QUAN
2. Data Collection/Operations – QUAL or QUAN Increased pace of
3. Analysis/Inferences – QUAL or QUAN application
B. Multiple Applications Within Stage of Study**
1. Type of Inquiry – QUAL and/or QUAN
2. Data Collection/Operations – QUAL and/or QUAN
3. Analysis/Inferences – QUAL and/or QUAN

* There must be a mixing such that each approach appears in at least one stage of the study.
** There must be a mixing such that both approaches appear in at least on stage of the study.

IV. AR dan Eligibilitasnya sebagai Suatu Disertasi
1. Mengapa Eligibilitas AR untuk Disertasi
Creswell (1995 dalam Tashakkori, e.a, 1998) mengajukan persoalan aplikasi metoda paradigma terkait dengan proses riset sebagai berikut: Paling efisien adalah menggunakan kedua paradigma dalam suatu disain yang dikombinasikan. Berbagai aspek dari proses riset, seperti: pendahuluan, referensi, teori, pernyataan tentang tujuan penelitian, dan pertanyaan riset dijabarkan dari berbagai paradigma dalam satu riset.
Brewer dan Hunter (1989 dalam Tashakkori, e.a, 1998) menggunakan pendekatan multimethod dalam berbagai pengukuran ke dalam berbagai fase proses riset. Efek yang lebih luas dalam berbagai fase berbeda dari satu proses riset memang harus dikaji lebih mendalam lagi.
Contoh: yang digunakan Miler & Huberman (1994 dalam Tashakkori, et al, 1998) dalam penggunaan pendekatan jamak, berbeda, sebagai berikut:
• Suatu desain ekspirment yang menggunakan interviu etnografis secara bersama dan terintegrasikan.
• Koleksi data yang mencakup close-ended item dengan respons numerical maupun open-ended item dalam satu survei yang sama (e.g. Tashakkori, Aghajaniar & Mehryar, 1996 dalam Tashakkori, et al, 1998).
• Data analisis yang mencakup factor analysis dari item skala Likert dari satu bagian survei dengan constant comparative method (e.g. Glaser & Strauss, 1967, Lincoln & Guba, 1985, Tashakkori, et al, 1998) untuk menganalisis narrative responses to open-ended questions terkait dengan skala Likert.
Dengan mixed model studies ini ternyata eligibiltas AR, bahkan CAR pun layak, terbukti dari berbagai penelitian yang menggambarkan taxonomi kajian dengan berbagai pendekatan metodologi yang berbeda.

2. Implikasi
Kehidupan perkuliahan di kelas kadarnya berkenaan dengan prinsip pembelajaran yang terutama berperspektif konstruktif yang dilandasi oleh paradigma bahwa mahasiswa bukan penerima melainkan konstruktor pengetahuan dan memiliki paling sedikit 5 prinsip:
a. Penyikapan masalah-masalah yang muncul dan relevan pada belajar mahasiswa.
b. Menstrukturkan belajar menurut ide-ide utama.
c. Menemukan dan memaknai pandangan mahasiswa.
d. Penyesuaian pembelajaran yang diarahkan pada konsep mahasiswa.
e. Pengukuran belajar mahasiswa dalam konteks pembelajaran (Waras, 1996).
Kaidah dosen yang utama adalah pengendalian ide dan interpretasi mahasiswa dalam belajar, serta menghubungkannya dengan pengetahuan lain dan terampil bukan saja mengetahui bagaimana melakukan sejumlah tindakan, tetapi juga mengetahui kapan melakukannya dan mengadaptasi unjuk kerja di berbagai situasi.
Karenanya disain AR dan CAR dilandasi oleh pendekatan yang bersifat siklus. Ingridien esential AR dan CAR adalah kombinasi tindakan dan teori, serta ciri yang mendasarinya adalah refleksi. Yang disebut refleksi adalah transformasi ke berfikir kembali tentang masalahnya secara mendalam dan kritis, suatu pemahaman terhadap keinginan mengeksplorasikan pengetahuan intuitif tentang praktek pendidikan yang dikomunikasikan dengan fihak lain (Lomax, 1986 dalam Patton, 1990).
Sensitivitas teoretis terkait dengan kemampuan mengidentifikasikan data apa yang penting dan bermakna. Teori ini harus diformulasikan sesuai dengan realitas fenomena yang dikaji. Ciri-ciri kunci data kualitatif adalah induktif, innovatif, eksploratif, dan kreatif dan mencakup perkembangan kejadian silang waktu dan ruang, serta beroperasi berdasarkan kontinum deskripsi analisis. Karenanya eligibilitas kajian berdasarkan AR dan CAR untuk digunakan dalam suatu disertasi sepenuhnya valid.

3. Quan dan Qual
Mengkaji analisa terhadap Quan dan Qual, di mana AR maupun CAR dicakup oleh pendekatan Qual, dan menyikap tahap-tahap revolusi dalam “perang” paradigma positivistis dan naturalistik, serta memperkirakan posisi Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta dalam evolusi ini, perlu kiranya diperhatikan oleh Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta untuk membuka pintu otak yang tergembog oleh pemikiran yang positivistis. Pendekatan tersebut bahkan telah diikuti oleh pemikiran neo positivisme yang menurut Tashakkori e.a sebenarnya lebih berupa reaksi berkelebihan (over reactions). Richard dan Rallis (1994, dalam Tashakkori, e.a, 1998) menyatakan pakar metodologi quantitatif saat itu, yaitu Campbell & Stanley, 1966 dalam Tashakkori, 1998) bahwa para post positivis pun taat pada cara positivis seperti value-ladeness of inquiry (risetnya sangat dipengaruhi nilai-nilai peneliti), Theory-ladeness of facts (riset dipengaruhi teori dan hypotesa kerangka fikir yang dipakai peneliti), nature of reality (pengertian realitas dikonstruksikan sesuai orientasi pendidikan).

4. Siklus Riset
Siklus riset pada hakekatnya menggunakan 2 jenis pendekatan yaitu berfikir induktif (inductive reasoning) dan berfikir deduktif (deductive reasoning). Siklus ilmiah bisa bertolak dari berfikir induktif (fakta, observasi) ke inferensi umum (abstraksi, generalisasi, atau teori) lalu dari inferensi umum (atau teori) melalui deduksi logis ke hipotesa tentatif atau prediksi outcome tertentu. Perjalanan rantai berfikir tergambar di bawah ini

Generalisasi, abstraksi teori Prediksi, ekspektasi, hypotesa

Berfikir induktif Berfikir deduktif

Observasi, Observasi,
Fakta, Fakta,
Pembuktian Pembuktian

Siklus Penelitian Metodologi Saintifik
Sumber: Tashakkori, e.a, 1998

Riset dapat bermula dari manapun. Beberapa riset bermula dari teori atau generalisasi abstrak, yang lain dari observasi. Dalam berbagai lapisan riset ada usaha permulaan (initial attempt) untuk melalui berfikir induktif membagi kerangka fikir konseptual berdasarkan dasar temuan sebelumnya. Dari manapun riset bermula, ia selalu mulai karena ada permasalahan yang menjadi pertanyaan riset yang menuntut jawaban melalui perjalanan manapun yang menjadi arah riset tersebut. Apabila perjalanan tersebut mengambil 2 arah, maka terjadilah mixed model studies with multiple applications within phase of study (Tashakkori, e.a, 1998).

Jakarta, 26 Februari 2004

Daftar Pustaka

Brezinka dan Wigger, dalam Wigger, 1985, Action and Education: A Critical Analysis of Action Concepts in Education Theories in Education: A Biannual Collection of Recent German Contributions to the Field of Education Research. Vol. 31. Tübungen, Germany: Institute for Scientific Education.

Guba, E. G & Lincoln, Y. S. 1985. Effective Evaluation. London: Jossey Bass Publ.

Hitchock, Graham, Hughes, David. 1994. Research and the Teacher, A Qualitative Introduction to School-Based Research, 2nd ed. London, New York: Routledge.

Hopkins, D. 1993. A Teacher’s Guide to Classroom Research, 2nd ed. Buckingham-Philadelphia: Open University Press.

Mc Niff, Jean. 1992. Action Research, Principles and Practices. London: Reprinted by Routledge.

Patton, M, Q. 1990. Qualitative Evaluation and Reseach Methodes, 2nd ed. London: Sage Publ., The International Professional Publ.

Semiawan, C. 2000. Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Seminar diselenggarakan Proyek Bank Dunia Nomor IBRD 3797 IND Pendidikan Guru Sekolah Menengah (PGSM). Bali.

Semiawan, C. 2003. Beberapa Catatan tentang Action Research. Lokakarya Bidang Pendidikan Badan Koordinasi Perguruan Tinggi Kristen Indonnesia (BK-PTKI). Jakarta.

Tashakkori, Abbas & Teddle Charles. 1998. Mixed Methodology, Combining Qualitative & Quantitative Approaches, Applied Social Research Methods Series, Vol. 46. London: Sage Publ., Thousand Qaks.

Waras bin Khamdi. 1996. Malang: Pergeseran Paradigma Penelitian Kelas dari Proses-Produk ke Analisis Interpretatif. Jurnal Teknologi Pembelajaran Tahun 4 No. 2., IKIP Malang Indonesia.

Winter, Richard. 1989. Learning from Experiences Principles and Practice in Action Research. London: The Palmer Press.

by

Teacher, Trainer, Writer, Motivator, Blogger, Fotografer, Father, Pembicara Seminar, Simposium, Workshop PTK dan TIK, Edupreneurship, Pendidikan Karakter Bangsa, Konsultan manajemen pendidikan, serta Praktisi ICT. Sering diundang di berbagai Seminar, Simposium, dan Workshop sebagai Pembicara/Narasumber di tingkat Nasional. Dirinya telah berkeliling hampir penjuru nusantara, karena menulis. Semua perjalanan itu ia selalu tuliskan di http://kompasiana.com/wijayalabs. Omjay bersedia membantu para guru dalam Karya Tulis Ilmiah (KTI) online, dan beberapa Karya Tulis Ilmiah Omjay selalu masuk final di tingkat Nasional, dan berbagai prestasi telah diraihnya. Untuk melihat foto kegiatannya dapat dilihat dan dibaca di blog http://wijayalabs.wordpress.com Hubungi via SMS : 0815 915 5515/081285134145 atau kirimkan email ke wijayalabs@gmail.com atau klik hubungi omjay yg disediakan dalam blog ini, bila anda membutuhkan omjay sebagai pembicara atau Narasumber.

4 thoughts on “Penelitian Tindakan

  1. PENELITIAN GROUNDED THEORY

    Pendahuluan
    Penelitian Grounded Theory (GT) adalah metode penelitian kualitatif yang menggunakan sejumlah prosedur sistematis yang diarahkan untuk mengembangkan teori berorientasi tindakan, interaksi, atau proses dengan berlandaskan data yang diperoleh dari kancah penelitian. Metode penelitian ini masih tergolong baru dan pada awalnya digunakan dalam sosiologi. Namun metode ini berkembang pesat dan telah digunakan dalam berbagai disiplin ilmu. Makalah ini membahas konsep-konsep pokok tentang Penelitian GT, yang diawali dengan mengemukakan latar belakang, perkembangan dan pengertian tentang penelitian GT sebagai pengantar. Setelah itu, pembahasan dilanjutkan dengan pemaparan tentang ciri-ciri pokok metode GT dan prosedur pelaksanaan sebuah penelitian GT. Pembahasan ditutup dengan menarik beberapa kesimpulan yang didasarkan pada pemaparan pada bagian-bagian sebelumnya.

    Latar Belakang GT

    Penelitian GT dikembangkan pertama kali pada tahun 1960s oleh dua sosiologis, Barney Glaser and Anselm Strauss berdasarkan penelitian yang mereka lakukan pada pasien-pasien berpenyakit akut di Rumah Sakit Universitas California, San francisco. Catatan-catatan dan metode penelitian yang digunakan dipublikasikan dan menarik minat banyak orang untuk mempelajarinya. Sebagai respon, Glaser dan Strauss menerbitkan The Discovery of Grounded Theory (1967), buku yang menjelaskan prosedur metode GT secara terperinci. Hingga saat ini, buku ini diterima sebagai peletetak konsep-konsep mendasar GT. Dalam buku ini, Glaser dan Strauss mengkritisi pendekatan-pendekatan penelitian sosiologi yang menekankan verifikasi dan pengujian teori-teori. Menurut mereka, penelitian seharusnya memunculkan konsep-konsep (variabel) dan hipotesis berdasarkan data-data nyata yang ada di lapangan: “de-emphasis on the prior step of discovering what concepts and hypotheses are relevant for the area one wished to research. …In social research generating theory goes hand in hand with verifying it; but many sociologists have diverted from this truism in their zeal to test either existing theories or a theory that they have barely started to generate” (Glaser & Strauss, 1967: 1-2). Sebuah teori yang ditemukan selama penjaringan data akan sangat sesuai dengan kumpulan data tadi. Jadi, teori yang dibangun oleh GT sangat kontras dengan teori yang diturunkan secara deduktif dari grand theory, tanpa bantuan data dan sering kali tidak pas dengan data manapun.

    Ide-ide yang terkandung dalam The Discovery of Grounded Theory merefleksikan latar belakang keahlian kedua pengarang yang cukup berbeda. Glaser merupakan lulusan Columbia University yang berafiliasi pada penelitian quantitatif, khususnya pengembangan teori secara induktif berdasarkan data kuantitatif dan kualitatif. Pengaruh perspektif induktif terlihat pada penekanan perumusan teori berdasarkan perspektif parisipan yang diteliti. Strauss merupakan lulusan Universitas Chicago yang terkenal dengan tradisi penelitian lapangan kualitaif. Latar belakang ini terungkap pada penekanan Strauss terhadap peneltian lapangan yang dilakukan dengan cara menemui dan secara seksama mendegarkan penuturan individu-individu yang diteliti.
    Setelah penerbitan The Discovery of Grounded Theory, baik Glaser maupun Strauss menulis berbagai buku masing-masing untuk mengembangkan metode GT. Bekerjasama dengan Juliet Corbin, pada tahun 1990 dan 1998 Strauss mengembangkan prosedur dan teknik GT yang kemudian dikenal dengan desain sistematik, dengan bentuk yang lebih preskriptif, dengan kategori-kategori yang telah ditentukan dan penekanan pada validitas dan reliabilitas data. Desain sistematik ini menekankan penggunaan tiga fase analisis data yang dimulai dengan pengodean terbuka (open coding), pengodean poros (axial coding), dan pengodean selektif (selective coding) dan pengembangan suatu paradigma logis atau gambaran visual dari teori yang diturunkan.

    Meskipun desain sistematik diadopsi oleh para peneliti kualitatif, beberapa poin dalam pendekatan ini mendapat kritikan. Glaser menyoroti penekanan yang berlebihan terhadap aturan dan prosedur, kerangka kerja yang kaku, dan kecenderungan verifikasi teori (bukan penyusunan teori) yang terdapat dalam desain tersebut. Menurut Glaser, tujuan utama peneliti GT adalah untuk menjelaskan “proses sosial dasar” dengan cara memunculkan teori dari data, bukan hanya sekedar menggunakan kategori-kategori yang telah ditentukan seperti tergambar pada desain sistematik, terutama pada langkah pengodean poros. Sebagai alternatif, Glaser mengajukan desain emerging yang menekankan penggunaan teknik pembandingan berkesinambungan (constant comparative) antara kejadian dengan kejadian, kejadian dengan kategori, dan kategori dengan kategori sebagai inti analisis data. Bagi Glaser, fokus utama GT adalah menghubungkan kategori-kategori dan memunculkan teori, bukan hanya sekedar menggambarkan teori.pada tahap akhir, peneliti membangun dan mendiskusikan hubungan antar seluruh kategori tanpa menghubungkannya dengan diagram atau gambar (Creswel, 2008: 438)

    Pengembang metode GT yang lain, Charmaz (dalam Creswel, 2008: 439), menyatakan bahwa desain yang disusun Straus dan Glaser terlalu kaku dengan prosedur pengumpulan fakta dan penjelasan tindakan sehingga makna yang dinyatakan oleh partisipan dalam penelitian bisa terabaikan. Menurut Charmaz, peneliti GT perlu menggunakan strategi-strategi yang lebih fleksibel dalam rangka ‘menangkap’ dan menjelaskan pandangan, nilai-nilai, kepercayaan, perasaan, asumsi, dan ideologi individu sewaktu mereka menjalani sebuah fenomena atau proses. Berdasarkan pandangan-pandangannya itu, Charmaz menyusun desain konstruktivis yang memberi penekanan pada makna yang diungkapkan oleh partisipan dalam penelitian. Desain ini dilakukan dengan cara menjelaskan perasaan-perasaan masing-masing partisipan sewaktu mereka menjalani sebuah fenomena. Desain ini juga menjelaskan keyakian dan nilai-nilai peneliti tapi mencegah kategori-kategorinyang telah ditentukan, sebagaimana halnya terjadi dalam desain sistematik. Laporan penelitian ditulis terutama dalam bentuk penjelasan yang logis serta, secara mendalam, mengupas asumsi-asumsi dan makna yang diungkapkan masing-masing partisipan yang diteliti.

    Pengertian GT

    GT merupakan metodologi penelitian kualitatif yang berakar pada kontruktivisme, atau paradigma keilmuan yang mencoba mengkontruksi atau merekontruksi teori atas suatu fakta yang terjadi di lapangan berdasarkan pada data empirik. Kontruksi atau rekontruksi teori itu diperoleh melalui analisis induktif atas seperangkat data emik berbentuk korpus yang diperoleh berdasarkan pengamatan lapangan. Hal ini didukung Borgatti (1990) dengan menjelaskan bahwa frasa “grounded theory”, nama yang diberikan kepada GT, merujuk pada “theory that is developed inductively from a corpus of data”. Data-data yang dianalisis merupakan emik karena data-data itu diperoleh berdasarkan penuturan, tindakan, dan pengalaman para partisipan. Data-data itu kemudian diidentifikasi, diberi kode, dikategorikan, dan secara konstan dibandingkan satu dengan yang lain. Jika analisis dilakukan dengan baik, teori yang diperoleh akan sangat sesuai dengan fenomena yang diteliti (atau dijadikan sebagai sumber data). Dengan kata lain, ide pokok pendekatan GT adalah analisis kualitatif data lapangan yang dilakukan dengan membaca seperangkat teks (catatan lapangan, transkrip wawancara, atau dokumen-dokumen yang relevan) secara seksama (bila perlu berulang-ulang) untuk menemukan konsep-konsep atau kategori-kategori dan hubungan antar konsep maupun kategori tersebut.
    Teori yang dihasilkan melalui GT merupakan teori substantif, bukan teori formal. Teori substansi adalah teori yang dibangun dari data berdasarkan wilayah substansi penelitian. Sedangkan teori formal menjangkau berbagai subtansi penelitian. Meskipun demikian, penelitian GT bisa saja menghasilkan teori formal, tapi prosesnya dilakukan bertahap dan membutuhkan analisis yang cermat. Jika suatu teori telah berlaku secara valid pada suatu substansi, teori itu bisa dikembangkan pada substansi yang lebih luas atau substansi lain, sampai menghasilkan teori formal.

    Tujuan penelitian GT adalah merekonstruksi teori-teori yang digunakan untuk memahami fenomena. Elliott dan Lazenbatt (2005) mengatakan: “With its origins in sociology, grounded theory emphasises the importance of developing an understanding of human behaviour through a process of discovery and induction rather than from the more traditional quantitative research process of hypothesi testing and deduction.” Oleh karena itu, GT sesuai digunakan dalam rangka menjelaskan fenomena, proses atau merumuskan teori yang umum tentang sebuah fenomena yang tidak bisa dijelaskan dengan teori yang ada. Haig (1995) mengatakan bahwa meskipun GT pada awalnya diterapkan dan dikembangkan di bidang sosiologi, metode ini dapat dan telah digunakan dengan baik di berbagai disiplin ilmu, seperti pendidikan, keperawatan, ilmu politik, dan psikologi. Khusus di bidang pendidikan, Creswell (2008: 432) mengatakan bahwa GT sangat sesuai digunakan untuk meneliti proses pengembangan kemampuan menulis di kalangan siswa atau proses pengembangan karir di kalangan wanita Amerika-Afrika dan Kaukasia yang berprestatsi tinggi. GT juga sesuai digunakan untuk meneliti tindakan manusia, seperti proses keikutsertaan para peserta yang mengikuti kelas-kelas pendidikan orang dewasa, atau untuk meneliti interaksi antar individu, seperti dukungan yang diberikan para pejabat sebuah jurusan kepada para peneliti fakultas.

    Ciri-Ciri Utama Penelitian Grounded Theory

    Seperti terungkap dari paparan latar belakang di atas, penggunaan dan pengembangan di berbagai disiplin ilmu membuat GT terbagi dalam tiga pendekatan. Meskipun demikian, ketiga pendekatan itu, dan juga desain-desain yang diterapkan secara khusus dalam berbagai bidang ilmu, tetap menggunakan konsep dasar dalam The Discovery of Grounded Theory sebagai titik tolak (Goulding, 1999). Oleh sebab itu, untuk memahami GT secara lebih komprehensif, elemen-elemen yang terkandung dalam setiap pendekatan perlu dikaji secara seksama. Menurut Creswell (2008: 440), enam karakteristik berikut merupakan elemen-elemen yang terdapat dalam berbagai pendekatan GT, termasuk desain sistematik, ’emerging’ dan ‘kostruktivis’.

    1. Pendekatan Proses

    Meskipun para peneliti GT dapat mengarahkan studi mereka pada sebuah ide, seperti keahlian menerjemahkan novel atau kemahiran berpidato, mereka lebih mengarahkan penelitian terhadap proses yang berhubungan dengan sebuah topik substantif. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa setiap fenomena sosial merupakan hasil proses tindakan atau interaksi antar individu. Dalam penelitian GT, proses merujuk pada urutan tindakan-tindakan dan interaksi antar manusia dan peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan sebuah topik, seperti pengalihbahsaan novel Animal Farm ke dalam bahasa Indonesia. Dalam topik seperti ini, berdasarkan transkrip wawancara atau catatan pengamatan yang dilakukan pada partisipan, peneliti GT dapat mengidentifikasi dan mengisolasi tindakan-tindakan dan interaksi antar manusia, seperti interaksi antara penerbit dan penterjemah pada saat negoisasi, tindakan-tindakan yang dilakukan penterjemah selama proses pengalihbahasaan, dan sebagainya. Aspek-paspek yang diisolasi ini disebut kategori-kategori, yang digunakan sebagai tema-tema informasi dasar dalam rangka memahami suatu proses. Borgatti (1990) menekankan pemusatan perhatian GT terhadap dengan mengatakan “…process is vital….” karena GT berhubungan dengan penggambaran dan pengodean hal-hal yang dinamis—sedang berubah, sedang bergerak, dan sedang berlangsung di kancah penelitian.

    Dalam penelitian GT, kategori-kategori atau tema-tema diberi label dalam bentuk kode in vivo, yaitu label dari kategori-kategori yang diungkapkan dengan menggunakan kata-kata asli partisipan bukan dalam bentuk ungkapan peneliti atau terminologi ilmiah yang baku. Kata-kata itu diidentifikasi peneliti dengan mengkaji transkrip-transkrip wawancara atau catatan lapangan dalam rangka melokalisir ungkapan partisipan yang berhubungan dengan kategori yang dimaksud. Sebagai contoh, untuk menungkapkan bahwa buku hasil terjemahannya sangat laris, partisipan mungkin menggunakan istilah ‘meledak di pasaran’. Dengan menggunakan kode in vivo, peneliti akan menggunakan label “meledak di pasaran” untuk kategori tersebut.

    2. Penyampelan Teoritik

    Sebagaimana lazimnya dalam penelitian kualitatif, instrumen pengumpul data penelitian GT adalah peneliti sendiri. Data-data yang dikumpulkan dapat berbentuk transkrip wawancara, percakapan, catatan wawancara, dokumen-dokumen publik, buku harian dan jurnal responden, dan catatan reflektif peneliti (Charmaz, dalam Creswell, 2008: 442) . Proses pengumpulan data itu dilaksaakan dengan mengunakan ada dua metode secara simultan, yaitu observasi dan wawancara mendalam (depth interview). Bentuk data yang paling sering digunakan berbagai peneliti adalah hasil wawancara karena data seperti ini lebih mampumengungkapkan pengalaman responden dalam kata-kata mereka sendiri. Hal inilah yang mendorong Borgatti (1990) menyimpulkan bahwa GT sangat dipengaruhi dan menekankan pemahaman dunia secara emik. Dia menyatakan: ”… grounded theorists are concerned with or largely influenced by emic understandings of the world: they use categories drawn from respondents themselves and tend to focus on making implicit belief systems explicit.”

    Hal yang spesifik yang membedakan pengumpulan data pada penelitian GT dari pendekatan kualitatif lainnya adalah pada pemilihan fenomena yang dikumpulkan. Paling tidak, pada GT sangat ditekankan untuk menggali data perilaku yang sedang berlangsung (life history) untuk melihat prosesnya serta ditujukan untuk menangkap hal-hal yang bersifat kausalitas. Seorang peneliti Grounded Theory selalu mempertanyakan “Mengapa suatu kondisi terjadi?”, “Apa konsekwensi yang timbul dari suatu tindakan/reaksi?”, dan “Seperti apa tahap-tahap kondisi, tindakan/reaksi, dan konsekwensi itu berlangsung?”
    Dalam GT, masalah sampel penelitian tidak didasarkan pada jumlah populasi, melainkan pada keterwakilan konsep dalam beragam bentuknya. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara penyampelan teoritik, yaitu penyampelan yang dilakukan “… in order to discover categories and their properties, and to suggest their interrelationship into a theory” (Glaser and Strauss, 1980: 62). Dengan kata lain, penyampelan teoritik merupakan pengambilan sampel yang dilakukan peneliti dengan cara memilih data-data atau konsep-konsep yang terbukti berhubungan dengan dan mendukung secara teoritik teori yang sedang disusun. Tujuannya adalah mengambil sampel peristiwa/fenomena yang menunjukkan kategori, sifat, dan ukuran yang secara langsung menjawab masalah penelitian. Sebagai contoh, jika peneliti sedang meneliti “tingginya kecenderungan penerbitan novel-novel horror terjemahan”, penikmat (pembaca) novel-novel horor merupakan kandidat yang paling sesuai untuk diwawancarai. Penterjemah, penerbit, dan kritisi sastra memang dapat dijadikan sumber informasi yang relevan, namun peran mereka tidakbegitu sentral karena penerbitan bahan bacaan sangat ditentukanoleh konsumen (pembaca).

    Paparan ini mengungkapkan bahwa pada dasarnya yang di sampel dalampenelitian GT bukan obyek formal penelitian (orang atau benda-benda), melainkan obyek material yang berupa fenomena-fenomena yang sudah dikonsepkan. Akan tetapi, karena fenomena itu melekat dengan subyek (orang atau benda), maka dengan sendirinya obyek formal juga ikut disampel dalam peroses pengumpulan atau penggalian fenomena.
    Berkenaan dengan proposisi terakhir, pada hakikatnya fenomena yang telah terpilih itulah yang dicari atau digali oleh peneliti selama mengumpulkan data. Karena fenomena itu melekat dengan subyek yang diteliti, maka jumlah subyek pun terus bertambah sampai tidak ditemukan lagi informasi baru yang diungkap oleh beberapa subyek yang terakhir. Itulah sebabnya, penentuan sampel subyek dalam penelitian GT, seperti halnya penelitian kualitatif pada umumnya, tidak dapat direncanakan dari awal. Subyek-subyek yang diteliti secara berproses ditentukan di lapangan, kaetika pengumpulan data berlangsung. Cara penyampelan inilah yang disebut dalam penelitian kualitatif sebagai snow bowl sampling.

    Sesuai dengan tahap pengkodean dan analisis data, penyampelan dalam GT diarahkan dengan logika dan tujuan dari tiga jenis dasar prosedur pengkodean. Ada tiga pola penyampelan teoritik, yang sekaligus menandai tiga tahapan kegiatan pengumpulan data; (a) penyampelan terbuka, (b) penyampelan relasional dan variasional, serta (c) penyampelan pembeda. Penyampelan ini bersifat kumulatif (penyampelan terdahulu menjadi dasar bagi penyampelan berikutnya) dan semakin mengerucut sejalan dengan tingkat kedalaman fokus penelitian. Berikut ini adalah penjelasan singkat tentang ketiga penyampelan tersebut.

    (a) Penyampelan terbuka bertujuan untuk menemukan data sebanyak mungkin sepanjang berkenaan dengan rumusan masalah yang dibuat pada awal penelitian. Karena pada tahap awal itu peneliti belum yakin tentang konsep mana yang relevan secara teoritik, maka obyek pengamatan dan orang-orang yang diwawncarai juga masih belum dibatasi. Data yang terkumpul dari kegiatan pengumpulan data awal inilah kemudian dianalisis dengan pengkodean terbuka.

    (b) Penyampelan relasional dan variasional berfokus pada pengungkapan dan pembuktian hubungan-hubungan antara kategori dengan kategori dan kategori dengan sub-subkategorinya. Pada kedua penyampelan ini diupayakan untuk menemukan sebanyak mungkin perbedaan tingkat ukuran di dalam data. Hal pokok yang perlu pada penemuan perbedaan tingkat ukuran tersebut adalah proses dan variasi. Jadi, inti utama penyampelan di sini adalah memilih subyek, lokasi, atau dokumen yang memaksimalkan peluang untuk memperoleh data yang berkaitan dengan variasi ukuran kategori dan data yang bertalian dengan perubahan.

    (c) Penyampelan pembeda berkaitan dengan kegiatan pengkodean terpilih. Oleh karena itu tujuan penyampelan pembeda adalah menetapkan subyek yang diduga dapat memberi peluang bagi peneliti untuk membuktikan atau menguji hubungan antarkategori.

    Kegiatan pengumpulan data dalam penelitian GT berlangsung secara bertahap dan dalam rentang waktu yang relatif lama. Proses pengambilan sampel juga berlangsung secara terus menerus ketika kegiatan pengumpulan data. Jumlah sampel bisa terus bertambah sejalan dengan pertambahan jumlah data yang dibutuhkan. Ketentuan umum dalam GT adalah melakukan penyampelan hingga pemenuhan teoritik bagi setiap kategori tercapai. Maksudnya, penyampelan dihentikan apabila; (a) tidak ada lagi data baru yang relevan, (b) penyusunan kategorinya telah terpenuhi; dan (c) hubungan antarkategori sudah ditetapkan dan dibuktikan.

    Berdasarkan paparan tentang prinsip penyampelan di atas, jelaslah bahwa pengambilan kesimpulan dalam penelitian GT tidak didasarkan pada generalisasi, melainkan pada spesifikasi. Bertolak dari pola penalaran ini, penelitian GT bermaksud untuk membuat spesifikasi-spesifikasi terhadap (a) kondisi yang menjadi sebab munculnya fenomena, (b) tindakan/interaksi yang merupakan respon terhadap kondisi itu, (c) serta konsekuensi-konsekuensi yang timbul dari tindakan/i nteraksi itu. Jadi, rumusan teoritik sebagai hasil akhir yang ditemukan dari jenis penelitian ini tidak menjustfikasi keberlakuannya untuk semua populasi, seperti dalam penelitian kuantitatif, melainkan hanya untuk situasi atau kondisi tersebut.

    3. Analisis Data Perbandingan Konstan

    Dalam penelitian GT, peneliti terlibat dalam roses pengumpulan data, pengelompokan data ke dalam kategori-kategori, pengumpulan data tambahan, dan pembandingan informasi yang baru itu dengan kategori-kategori yang muncul. Proses pengembangan kategori-kategori informasi yang berlangsung secara perlahan-lahan ini dinamai prosedur perbandingan konstan (constant comparative procedure). Perbandingan konstan ini merupakan prosedur analisis data induktif yang digunakan untuk memunculkan dan menghubungkan kategori-kategori dengan cara membandingkan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya, satu peristiwa dengan satu kategori, dan satu kategori dengan kategori lainnya.

    Dalam tahap pelaksanaan (Dick, 2005) menggambarkan analisis data perbandingan konstan, dalam langkah-langkah berikut. Pada wawancara pertama, peneliti hanya bertanya pada diri sendiri: “Apa yang sedang berlangsung?”, “Situasi apakah ini?”, “Bagaimana partisipan ini menangani situasi tersebut? “, “Lalu, kategori-kategori apa yang terungkap melalui pernyataan-pernyataan ini?” Setelah itu, peneliti mengodekan hasil-hasil wawancara pertama dan kedua ke dalam kategori-kategori, seluruh kategori (termasuk yang diperoleh dari sumber data lainnya) dibandingkan satu dengan yang lain. Setelah itu, seluruh kategori dihubungkan dengan teori yang muncul dipikiran penulis selama melakukan perbandingan. Secara singkat, analisis data perbandingan konstan adalah ”… initially comparing data set to data set; later comparing data set to theory.” Ilustrasi prosedur analisis data perbandingan konstan dapat dilihat pada gambar berikut.

    4. Kategori Inti

    Dari seluruh kategori utama yang diperoleh dari data, peneliti memilih satu kategori sebagai inti fenomena dalam rangka merumuskan teori. Setelah mengidentifikasi beberapa kategori (misalnya, 8 hingga 10—tergantung pada besarnya database), peneliti memilih satu kategori inti sebagai basis penulisan teori (lihat gambar 2 sebagai visualisasi proses ini). Berikut ini adalah enam kriteria untuk menentukan kategori inti (Strauss and Corbin, dalam Creswell, 2008: 444).

    (a) Kategori tersebut harus merupakan sentral, dalam artian kategori-kategori utama lainnya dapat dihbungkan padanya.

    (b) Kategori tersebut sering muncul dalam data, dengan pengertian bahwa dalam semua kasus terdapat indikator-indikator yang merujuk pada kategori inti tersebut.
    (c) Penjelasan-penjelasan yang menghubungkan kategori-kategori berfifat logis, konsisten dan tidak dipaksakan.

    (d) Istilah atau frasa yang digunakan untuk menjelaskan kategori inti harus abstrak.
    (e) Seiring dengan penyempurnaan konsep, teori berkembang dalam aspek kedalaman dan kemampuan menjelaskan

    (f) Meskipun kondisi bervariasi, kategori inti masih mampu menjelaskan seara akurat.

    Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa memilih kategori inti terlalu awal adalah sangat riskan. Akan tetapi, bila terlihat bahwa salah satu kategori mucul dengan frekuensi tinggi dan terhubung dengan jelas pada kategori-kategori lain, kategori itu dapat dipilih sebagai kategori inti.

    5. Perumusan Teori

    Dalam penelitian GT, yang dimaksud dengan teori adalah penjelasan atau pemahaman yang abstrak tentang suatu proses mengenai sebuah topik substantif yang didasarkan pada data. Teori ini disusun oleh peneliti sewaktu mengidentifikasi kategori inti dan kategori-kategori proses yang menjelaskannya. Karena teori ini dilandaskan pada fenomena yang spesifik, teori ini tidak dapat diaplikasikan digeneralisasikan secara meluas pada fenomena lain. Oleh karena itu, Charmaz (dalam Creswell, 2008: 446) mengatakan teori ini berfifat “middle range”, ditarik dari beberapa individual atau sumber data dan memberi penjelasan yang akurat hanya pada sebuah topik yang substantif.

    6. Penulisan Memo

    Dalam penelitian GT, memo merupakan catatan-catatan yang dibuat peneliti untuk mengelaborasi ide-ide yang berhubungan dengan data dan kategori-kategori yang dikodekan. Dengan kata lain, memo merupakan catatan yang dibuat peneliti bagi dirinya sendiri dalam rangka menyusun hipotesis tentang sebuah kategori, kususnya tentang hubungan-hubungan antara kategori-kategori yang ditemukan. Menurut Dick (2005), penulisan memo harus harus diberikan prioritas utama karena ide tentang hubungan-hubungan antara kategori-kategori bisa muncul kapan saja dan peneliti harus segera mencatatnya. Dalam penelitiannya, Dick biasa menggunakan memo dengan sistem kartu-kartu berukuran 125 mm x 75 mm yang tersedia dikantongnya kapan saja dia perlu membuat memo. Kartu-kartu memo itu dibuat dengan format seperti pada gambar 2.

    Gambar 2: Memo Grounded Theory

    Tahapan Pelaksanaan Penelitan GT

    Penelitian GT diawali dengan pemusatan perhatian pada suatu wilayah kajian dan diikuti oleh pengumpulan data dari berbagai sumber dengan menggunakan berbagai teknik, khususnya wawancara dan obserrvasi lapangan (field observation). Setelah terhimpun, data-data tersebut dianalisis dengan menggunakan teknik ‘coding’ dan prosedur penyampelan teoritis. Tahap berikutnya adalah menyusun teori (yang menjelaskan fenomena yang diteliti) dengan menggunakan teknik interpretasi. Pada tahap akhir, hasil penelitian disusun secara sistematis. Selaras dengan itu, Creswell (2008: 432) menjelaskan GT dilakukan melalui sebuah prosedur penjaringan data yang sistematis, pengidentifikasian kategori-kategori (tema-tema), penghubungan kategori-kategori tersebut, dan pembentukan teori yang menjelaskan proses tersebut. Dengan demikian teori-teori yang dihasilkan merupakan teori ‘proses’ yang menjelaskan fenomena (tahapan-tahapan proses, tindakan, atau interaksi yang terjadi di kancah penelitian selama penelitian terjadi).
    Gambaran di atas hanyalah gambaran prosedur secara umum, sedangkan prosedur yang spesifik sulit digambarkan mengingat bahwa penelitian GT diaplikasikan dalam berbagai disiplin ilmu. Selain itu, terdapat paling tidak tiga desain yang lazim digunakan cukup beragam, dengan disain yang teratur (sistematik dan emerging) maupun fleksibel (konstruktivis). Prosedur yang diuraikan di bawah ini merupakan tahapan desain sistematis, mengingat langkah-langkahnya yang mudah diidentifikasi.

    1. Perumusan Masalah Penelitian

    Sebagai penelitian berparadigma kualitatif, GT mengasumsikan bahwa di dalam kehidupan sosial selalu ditemukan regulasi-regulasi yang relatif sudah terpola. Pola-pola regulasi yang ditemukan melalui penelitian itulah yang dirumuskan menjadi teori. Asumsi ini dipertegas dalam GT, dengan menyatakan bahwa; (a) semua konsep yang berhubungan dengan fenomena belum dapat diidentifikasi; dan (b) hubungan antarkonsep belum terpahami atau belum tersusun secara konseptual. Oleh sebab itu, tidak mungkin bagi seorang peneliti untuk mengajukan masalah yang sangat spesifik–seperti yang dituntut dalam metode kuantitatif, baik variabel maupun tipe hubungan antarvariabelnya. Substansi rumusan masalah dalam pendekatan GT masih bersifat umum, yaitu dalam bentuk pertanyaan yang masih memberi kelonggaran dan kebebasan untuk menggali fenomena secara luas, dan belum sampai menegaskan mana saja variabel yang berhubungan dengan ruang lingkup masalah dan mana yang tidak. Demikian pula tipe hubungan antarvariabelnya belum perlu dieksplisitkan dalam rumusan masalah yang dibuat.

    Bertolak dari dasar asumsi dan kemungkinan yang diutarakan di atas, rumusan masalah dalam GT disusun secara bertahap. Pada tahap awal–sebelum pengumpulan data, dikemukan rumusan masalah yang bersifat luas (tetapi tidak terlalu terbuka), yang kemudian nanti–setelah data yang bersifat umum dikumpulkan—rumusan masalahnya semakin dipersempit dan lebih difokuskan sesuai dengan sifat data yang dikumpulkan. Intinya adalah, bahwa rumusan masalah dalam GT disusun lebih dari satu kali. Rumusan masalah yang diajukan pada tahap pertama dimaksudkan sebagai panduan dalam mengumpul data, sedangkan rumusan masalah yang diajukan pada tahap berikutnya dimaksudkan sebagai panduan untuk menyusun teori. Perumusan masalah yang disebut terakhir ini inheren dengan perumusan hipotesis penelitian.

    Seperti lazimnya pada setiap penelitian, rumusan masalah yang disusun pada tahap awal adalah yang memiliki substansi yang jelas serta diformulasikan dalam bentuk pertanyaan. Ciri rumusan masalah yang disarankan dalam GT adalah; (a) berorientasi pada pengidentifikasian fenomena yang diteliti; (b) mengungkap secara tegas tentang obyek (formal dan material) yang akan diteliti, serta (c) berorientasi pada proses dan tindakan. Contoh rumusan masalah awal pada GT; “Bagaimanakah novel detektif Inggris diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia?” Pertanyaan yang diajukan dalam rumusan masalah ini bermaksud untuk; (a) mengenali secara tepat dan mendalam proses penerjemahan sebuah novel detektif Inggris ke dalam bahasa Indonesia, (b) obyek formal penelitian adalah penterjemah yang sedang menerjemahkan sebuah novel detektif Inggris ke dalam bahasa Indonesia; sedangkan obyek materialnya adalah metode yang dilakukan oleh penterjemah itu dalam menyelesaikan penerjemahan novel dimaksud, dan (c) orientasi utama yang disoroti adalah tahapan dan teknik-teknik penterjemahan yang dipilih.
    Sebagai sebuah penelitian kualitatif, penelitian GT tidak bermaksud untuk menguji teori, dan bahkan tidak bertolak dari variabel-variabel yang direduksi dari suatu teori. Sungguh tidak relevan jika penelitian dengan GT dimulai dengan teori atau variabel yang telah ada, karena akan menghambat pengembangan rumusan teori baru. Oleh sebab itu, penelitian GT tidak perlu terlalu terpangaruh oleh literatur karena akan menutupi kreativitas dalam mengumpul, memahami dan menganalisis data. Inilah yang dimaksudkan dalam pendekatan GT, bahwa sesungguhnya peneliti belum memiliki pengetahuan tentang obyek yang diteliti, termasuk jenis data dan kategori-kategori yang mungkin ditemukan.

    Dalam pendekatan GT, teori yang sudah ada harus diletakkan sesuai dengan maksud penelitian yang dikerjakan, yaitu untuk menemukan teori dari dasar. Namun, jika peneliti menghadapi kesulitan dalam hal konsep ketika merumuskan masalah, membangun kerangka berpikir, dan menyusun bahan wawancara, maka konsep-konsep yang digunakan oleh teori terdahulu dapat dipinjam untuk sementara sampai ditemukan konsep yang sebenarnya dari kancah.

    Terdapat lima kemungkinan perlakuan peneliti terhadap teori yang sudah ada. Pertama, jika penelitian dengan GT menemukan teori yang memiliki hubungan dengan teori yang sudah dikenal, maka temuan baru itu merupakan sumbangan baru untuk memperluas teori yang sudah ada. Demikian pula, jika ternyata teori yang ditemukan identik dengan teori yang sudah ada, maka teori yang ada dapat dijadikan sebagai pengabsahan dari temuan baru itu. Kedua, jika peneliti sudah menemukan kategori-kategori dari data yang dikumpulkan, maka ia perlu memeriksa apakah sistem kategori serupa telah ada sebelumnya. Jika ya, maka peneliti perlu memahami tentang apa saja yang dikatakan oleh peneliti lain tentang kategori tersebut, tetapi bukan untuk mengikutinya. Penelitian yang bermaksud memperluas teori. Ketiga, jika penelitian bermaksud untuk memperluas teori yang telah ada, maka penelitian dapat dimulai dari teori tersebut dengan merujuk kerangka umum teori itu. Dengan kata lain, kerangka teoritik yang sudah ada bisa digunakan untuk menginterpretasi dan mendekati data. Namun demikian, penelitian yang sekarang harus dikembangkan secara tersendiri dan terlepas dari teori sebelumnya. Dengan demikian, penelitian dapat dengan bebas memilih data yang dikumpulkan, sehingga memungkinkan teori awalnya dapat diubah, ditambah, atau dimodifikasi. Keempat, jika penelitian sekarang bertolak dari teori yang sudah ada, maka teori tersebut dapat dimanfaatkan untuk menyusun sejumlah pertanyaan atau menjadi pedoman dalam pengamatan /wawancara untuk mengumpul data awal. Kelima, jika temuan penelitian sekarang berbeda dari teori yang sudah ada, maka peneliti dapat menjelaskan bagaimana dan mengapa temuannya berbeda dengan teori yang ada.

    2. Penjaringan Data

    Seperti telah dijelaskan sebelumnya, data utama dalam penelitian GT digali dari fenomena atau perilaku yang sedang berlangsung (life history) untuk melihat prosesnya serta ditujukan untuk menangkap hal-hal yang bersifat kausalitas. Sampel penelitian tidak didasarkan pada jumlah populasi, melainkan pada keterwakilan konsep dalam beragam bentuknya. Teknik yang digunakan adalah penyampelan teoritik, atau penyampelan yang dilakukan dengan cara memilih data-data atau konsep-konsep yang terbukti berhubungan dengan dan mendukung secara teoritik teori yang sedang disusun. Tujuannya adalah mengambil sampel peristiwa/fenomena yang menunjukkan kategori, sifat, dan ukuran yang secara langsung menjawab masalah penelitian.

    3. Analisis Data

    Pada dasarnya, kegiatan penjaringan dan analisis data dalam GT adalah proses yang saling berkaitan erat, dan harus dilakukan secara bergantian (siklus), bahkan simultan. Karena itu kegiatan analisis telah dikerjakan pada saat pengumpulan data sedang berlangsung.
    Kegiatan analisis dalam penelitian ini dilakukan dalam bentuk pengodean (coding), yakni proses penguraian data, pengonsepan, dan penyusunan kembali dengan cara baru. Tujuan pengkodean dalam penelitian GT adalah untuk; (a) menyusun teori, (b) memberikan ketepatan proses penelitian, (c) membantu peneliti mengatasi bias dan asumsi yang keliru, dan (d) memberikan landasan, memberikan kepadatan makna, dan mengembangkan kepekaan untuk menghasilkan teori.

    Terdapat dua prosedur analisis dasar dalam proses pengodean, yaitu; (a) pembuatan perbandingan secara terus-menerus (the constant comparative methode of analysis); dan (b) pengajuan pertanyaan. Dalam konteks penelitian GT, hal-hal yang diperbandingkan itu cukup beragam, yang intinya berada pada sekitar; (i) relevansi fenomena atau data yang ditemukan dengan permasalahan pokok penelitian, dan (ii) posisi dari setiap fenomena dilihat dari sifat-sifat atau ukurannya dalam suatu tingkatan garis kontinum. Analisis data itu sendiri, seperti telah dijelaskan sebelumnya, dilaksaakan dalam tiga langkah: pengodean terbuka (open coding), pengodean poros (axial coding), dan pengodean selektif (selective coding). Setelah menganalisis data, peneliti menyusun suatu paradigma logis atau gambaran visual dari teori yang diturunkan.

    Tiga Tahap Analisis Data

    (a) Pada tahap pertama, pengodean terbuka (open coding), peneliti membentuk kategori-kategori awal informasi tentang fenomena yang diteliti dengan memilah-milah data (diperoleh dari wawancara, observasi, maupun catatan-catatan dan memo) ke dalam jenis-jenis yang relevan. Jika fenomena yang diteliti adalah proses penterjemahan novel-novel klasik di sebuah penerbitan, misalnya, informasi yang diperoleh melalui pengamatan tentang proses pemberian ‘job’ oleh penerbit kepada sekelompok penterjemah dapat dikelompokkan kepada tahapan-tahapan pemberian kerja, pembuatan perjanjian kerja, sistem pembayaran upah, dan hal lain yang berhubungan dengan proses tersebut. Sedangkan iformasi yang diperoleh melalui wawancara terhadap para penterjemah dapat dipilah-pilah ke dalam kelompok pengalaman, keahlian, latar-belakang pendidikan, usia, dan lain-lain. Kategori-kategori yang telah ada bisa saja berkembang sesuai dengan penambahan data yang diperoleh, dan pada saat yang sama, sebagian atau seluruh kategori akan diperkaya dengan properties (sub-subkategori), yaitu data yang berfungsi sebagai detil pendukung kategori yang ada.
    (b) Di tahap kedua, pengodean poros (axial coding), peneliti memilih salah satu dari kategori yang ada dan memposisikannya sebagai inti fenomena yang sedang diteliti. Seluruh kategori lainnya dihubungkan pada inti fenomena ini berdasarkan korelasi apa adanya, seperti faktor-faktor penyebab (faktor-faktor yang memengaruhi inti), strategi (tindakan yang diambil sebagai respon terhadap inti), kondisi yang memengaruhi dan kontekstual (faktor-faktor situasional umum atau khusus yang memengaruhi strategi, dan konsekuensi (dampak dari penggunaan strategi). Tahapan ini melibatkan pembuatan sebuah diagram yang disebut pengkodean paradigma (coding paradigm), yang menggambarkan kesalingterkaitan antara penyebab, strategi, kondisi yang memengaruhi dan kontekstual, dan konsekuensi. Sebagai ilustrasi untuk proses ini, lihat gambar 1 berikut.

    (c) Di tahap ketiga, pengodean selektif (selective coding), peneliti menulis sebuah teori dari kesalingterkaitan seluruh kategori dalam tahap axial coding. Pada aras dasar, teori ini merupakan penjelasan abstrak atas proses yang diteliti Jadi, pengodean selektif merupakan proses penyatuan dan penyempurnaan teori melalui tahapan penulisan alur cerita yang membuat seluruh kategori saling terkait dan memilih melaui memo pribadi tentang ide-ide teoritis. Di sepanjang alur cerita, peneliti bisa saja mengamati bagaimana faktor tertentu memengaruhi fenomena yang membuat digunakannya strategi tertentu dengan dampak tertentu.

    Dilihat dari jumlah aktivitas pengodean yang dilakukan, terlihat adanya pengurangan dari tahap pengodean terbuka ke tahap penggolongan kategori-kategori, dan demikian halnya dari tahap penggolongan kategori-kategori ke tahap pengodean poros. Aktivitas paling minimal terdapat pada tahap penyusunan teori dari kategori-kategori yang sudah dijenuhkan.

    4. Penyusunan Teori

    Seperti dijelaskan di atas, teori dalam GT disusun pada saat melaksanakan pengodean selektif (selective coding). Proses ini mencakup analisis atas kesalingterkaitan seluruh kategori yang ditemukan. Perumusan teori juga bisa mencakup penyempurnaan paradigma yang terdapat pada axial coding dan menyajikannya sebagai sebuah modelatau teori bagi proses yang diteliti. Teori bisa disajikan sebagai proposisi-proposisi atau sub-sub proposisi yang dapat digunakan sebagai ide-ide yang dapat diuji pada penelitian lanjutan. Teori juga bisa dituliskan dalambentuk narasi yang menggambarkan kesalingterkaitan seluruh kategori (Creswell, 2008: 450).

    5. Validasi Teori

    Dalam GT, validasi teori merupakan bagian aktif dari proses penelitian. Sebagai contoh, sewaktu melakukan perbandingan konstan dalam tahap pengodean terbuka, peneliti melakukan pemeriksaan silang keabsahan hubungan antara data dan kategori-kategori yang muncul melalui proses triangulasi. Proses pemeriksaan data seperti itu juga dilakukan pada tahapan pengodean poros. Setelah teori dirumuskan, peneliti memvalidasi proses penyusunannya dengan membandingkannya dengan proses–proses sejenis yang ada di dalamkepustakaan. Bahkan penilai luar, seperti partisipan, juga bisa diminta untuk memeriksa keabsahan teori maupun validitas dan kredibilitas data (Creswell, 2008: 450).

    6. Penulisan Laporan Penelitian

    Sturuktur laporan penelitian GT sangat tergantung pada desain yang digunakan. Jika desain yang digunakan adalah pendekatan sistematik, laporan penelitian relatif mirip dengan struktur laporan penelitian kuantitatif, yang mencakup bagian-bagian perumusan masalah, metode penelitian, analisis dan diskusi, dan hasil penelitian. Jika desain yang digunakan adalah pendekatan ’emerging’ atau ’konstruktivis’, struktur laporan penelitian bersifat fleksibel (Creswell, 2008: 450).

    Kesimpulan
    Desain penelitian GT merupakan seperangkat prosedur yang digunakan untuk menyusun sebuah teori yang menjelaskan sebuah proses mengenai sebuah topik substantif. Penelitian GT cocok digunakan dalam rangka menjelaskan fenomena, proses atau merumuskan teori yang umum tentang sebuah fenomena yang tidak bisa dijelaskan dengan teori yang ada. Pada awalnya, penelitian GT diterapkan dan dikembangkan di bidang sosiologi. Namun saat ini GT juga banyak digunakan di berbagai disiplin ilmu, seperti pendidikan, keperawatan, ilmu politik, dan psikologi.

    Meskipun penelitian GT terdiri dari tiga bentuk desain—sistematik, ’emerging’ dan ’konstruktivis’—secara umum, metode ini memiliki enam karakteristik kunci. Pertama, fokus penelitian diarahkan pada proses yang berhubungan dengan sebuah topik substantif. Kedua, penjaringan data (yang dilakukan secara simultan denagn analisis data) dilakukan dengan menggunakan penyampelan teoritis. Ketiga, analisis data dilakukan dalam tiga tahap—pengodean terbuka, pengodean poros, dan pengodean selektif—sambil melaksanakan perbandingan konstan dan membuat pertanyaan tentang data-data yang diperoleh. Keempat, sewaktu menganalisis data untuk memunculkan kategori-kategori, sebuah kategori inti diidentifikasi. Keenam, kategori inti yang diidentifikasi kemudian dikembangkan dan dirumuskan menjadi teori. Selama melakukan penelitian, peneliti membuat catatan-catatan (memo) untuk mengelaborasi ide-ide yang berhubungan dengan data dan kategori-kategori yang dikodekan.

    Prosedur pelaksanaan penelitian GT yang komprehensif sulit dilakukan mengingat desain GT yang cukup beragam. Meskipun demikian, sebagai gambaran, langkah-langkah penelitian desain sistematis, dapat diurutkan dalam enam langkah: perumusan masalah, penjaringan data, analisis data, penyusunan teori, validasi teori, dan penulisan laporan.

    Daftar Pustaka

    Borgatti, Steve. “Introduction to Grounded Theory”. Diunduh pada tanggal 18 Oktober 2008 http://www.analytictech.com/mb870/introtoGT.htm

    Creswell, John W. 2008. Educational Research: Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative and Qulitative Research. New Jersey: Prentice Hall.
    Dick, Bob. 2005. “Grounded theory: a thumbnail sketch”. Diunduh pada tanggal 10 September 2008 dari http://www.scu.edu.au/schools/gcm/ar/arp/grounded.html
    Elliott, Naomi and Lazenbatt, Anne. 2005. “How to Recognise a ‘Quality’ Grounded Theory Research Study” A scholarly paper, published in Australian Journal of Advanced Nursing Volume 22 Number 3, 2005

    Emzir. 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif & Kualitatif. Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa.

    Glaser, B. & Straus A. 1980. The Discovery of Grounded Theory: Strategies for Qualitative Research. Chicago: Aldine.

    Goulding, Christina. 1999. “Grounded Theory: Some Reflections on Paradigm, Procedures, and Misconceptions” A Working Paper Series at Wolverhampton Business School.

    Haig, Brian D. 1995. “GT as Scientific Method” in Philosophy of Education Society. Diunduh pada tanggal 12 November 2008 dari http://www.GT as Scientific Method.htm
    Introduction to coding terminology qrtips.com/faq/Coding%20Level%20Pyramid.jp
    Tambahan :
    Grounded theory (Glaser dan Strauss)
    Bependapat suatu teori muncul dari data atau sebuah pendekatan metode penelitian kualitatif yang menggunakan seperangkat prosedur sistematik untuk mengembangkan teori dari dasar uyang dieproleh secara induktif tentang suatu fenomenon. Ada bebrapa strategi analisis kunci antara lain :
    • Koding adalah proses untuk membuat kategorisasi data kualitatif dan juga untuk menguraikan implikasi dan rincian dari kategorinya.
    • Memoing adalah proses mencatat pemikiran-pemikiran dan gagasan dari peneliti sewaktu hal-hal itu muncul selama studi.
    • Diagram terpadu dan sesi digunakan untuk menarik seluruh rincaian menajdi satu, untuk membantu agar data itu menjadi berarti dengan mengarahkan diri kepada teori yang muncul.

    • Teori dari Dasar (Grounded Theory); Penelitian kualitatif lebih menghendaki arah bimbingan penyusuna teori substantif yang berasal dari data. Pertama, tidak ada teori apriori yang dapat mencakupi kenyataan-kenyataan jamak yang mungkin akan dihadapi. Kedua, penelitian ini mempercayai apa yang dilihat sehingga ia berusaha untuk sejauh mungkin menjadi netral. Ketiga, teori dari dasar-dasar lebih dapat responsif terhadap nilai-nilai konstektual. Menggunakan analisis secara induktif berarti bahwa upaya pencarian data bukan dimaksudkan untuk membuktikan hipotesis yang telah dirumuskan sebelum penelitian diadakan. Analisis ini lebih merupakan pembentukan abstraksi berdasarkan bagian-bagian yang telah dikumpulkan, kemudian dikelompok-kelompokkan. Jadi, penyusunan teori di sini berasal dari bawah ke atas (grounded theory), yaitu dari sejumlah data yang banyak dikumpulkan dan yang saling berhubungan.

    Teknik Penelitian Grounded Theory
    Keberhasilan penelitian kualitatif banyak ditentukan pada pemilihan teknik atau metode yang representatif dengan kondisi lapangan melalui data yang berhasil dikumpulkan. Pada bagian ini akan diuraikan tentang teknik penelitian dengan menggunakan metode grounded theory. Menurut Agus Salim (2001) yang secara sederhana teknik penelitian dapat diuraikan oleh fase-fase berikut:
    I. Fase Desain Penelitian
    a. Tinjauan ulang literatur teknis
    Pada fase ini dilakukan aktifitas definisi research question dan definisi dari konstruk apriori. Secara rasional diadakan upaya memfokuskan masalah serta membatasi variasi yang tidak relevan serta mempertajam validitas eksternal.
    b. Pemilihan kasus
    Kasus yang dipilih untuk contoh bersifat teoritis, bukan acak. Dimana hal ini dilakukan sebagai upaya memfokuskan pada kasus yang bermanfaat secara teoritis.
    II. Fase Pengumpulan Data
    Seperti halnya penelitian kualitatif yang lain, penelitian ini menggunakan sampel bertujuan atau menggunakan teknik purposive sampling. Dimana sampel tersebut ditetapkan dengan karakteristik tertentu dengan tujuan untuk merinci kekhususan yang ada dengan ramuan konteks yang unik. Maksud lain dari sampel ini adalah menggali informasi yang menjadi dasar dari rancangan dan teori yang muncul di lapangan. Untuk itu dilakukan:
    a. Membuat protokol pengumpulan data yang akurat.
    Adapun aktifitas yang dilakukan adalah membuat basis data kasus dengan menggunakan berbagai metode pengumpulan data, baik data kualitatif maupun data kuantitatif. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan untuk meningkatkan realibilitas dan validitas konstruk, memperkuat keberalasan teori dan validitas internal srta memperkuat berbagai sinergi bukti yang ditemukan.
    Untuk sumber dan jenis data yang diperlukan adalah data primer dan sekunder:
    1. Data Primer
     Kata-kata, ekspresi dan Tindakan
    Sumber dan jenis kata primer penelitian ini adalah kata-kata dan tindakan subjek serta gambaran ekspresi, sikap dan pemahaman dari subjek yang diteliti sebagai dasar utama melakukan interpretasi data. Sedangkan untuk pengambilan data dilakukan dengan bantuan catatan lapangan, bantuan foto atau bila memungkinkan dengan bantuan rekaman suara tape recorder dan observasi mendalam oleh peneliti.
    2. Data Sekunder
     Sumber Tertulis
    Berbagai sumber tertulis yang memungkinkan dapat dimanfaatkan dalam penelitian ini akan digunakan semaksimal mungkin demi mendorong keberhasilan penelitian ini. Diantaranya buku-buku literatur, internet, majalah atau jurnal ilmiah, arsip, dokumen pribadi, dan dokumen resmi lembaga-lembaga yang terkait dengan penelitian ini. Pada fungsi yang optimal dapat memberikan pemahaman teoritik dan metodologi yang melandasi dalam melakukan penelitian yang benar.
     Data statistik
    Data statistik digunakan untuk memperkaya informasi baik yang berlaku umum maupun yang berlaku spesifik. Dengan data statistik ini kita juga bisa membuat pemahaman atau kecenderungan-kecenderungan yang nantinya bisa membandingkan dengan keadaan yang berada pada kenyaataan (grass roots) pada saat penelitian.
    b. Masuk ke Lapangan
    Di lapangan akan dialami tumpang- tindih antara pengumpulan data dan analisis data karena keduanya di laksanakan secara terus menerus dan secara bersamaan. Di sini metode pengumpulan data menggunakan metode yang fleksibel dan oportunistik. Semua ini dilaksanakan agar proses analisis bisa cepat dan mempermudah peneliti memanfaatkan tema dan keistimewaan kasus yang muncul.
    Data diperoleh dari:
    1. Observasi
    Observasi dilakukan sebelum dan selama penelitian ini diberlangsung yang meliputi gambaran umum, suasana kehidupan sosial, kondisi fisik, kondisi ekonomi dan kondisi sosial yang terjadi.
    2. Studi Dokumentasi
    Informasi, data yang diperlukan dalam penelitian ini juga kami peroleh dari studi dokumentasi. Sebelum penelitian lapangan, peneliti telah melakukan telaah terhadap buku literatur, majalah, jurnal, hasil seminar, artikel baik yang tersedia dalam media on-line (internet) maupun yang ada dalam perpustakaan.
    3. Wawancara Mendalam
    Untuk wawancara mendalam di lakukan secara langsung dengan informan secara terpisah di lingkungannya masing-masing. Wawancara akan dilakukan dengan informan yang dianggap berkompeten dan mewakili.
    III. Fase Penyusunan Data
    Pada fase penyusunan data ini dilakukan penyusunan event secara kronologis atau berurutan. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memudahkan analisis data dan evaluasi proses.
    IV. Fase Analisis Data
    Analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara, dan lainnya untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan kepada orang lain. Adapun untuk meningkatkan pemahaman tersebut analisis perlu dilanjutkan dengan berupaya mencari makna (meaning) (Muhadjir, 2002 :142).
    Dalam metode grounded theory terdapat beberapa tahap dalam melaksanakan analisa data, yaitu:
    1. Tahap pengolahan awal, meliputi: Open coding yaitu membuat konsep, kategori dan properti; Axial coding yaitu mengembangkan hubungan antara kategori dan sub kategori, Selective Coding yaitu mengintegrasikan kategori untuk membangun kerangka kerja teoritis.
    2. Tahap Percontohan teoritis yaitu melakukan replikasi teoritis, terus diulang lagi dari langkah kedua hingga teori matang/jenuh. Pada tahap dilakukan konfirmasi, perluasan dan pertajaman kerangka kerja teoritis.
    3. Tahap akhir dari analisis, disini diadakan pematangan teori lagi kalau mungkin. Dimana menghentikan proses apabila peningkatan atau pertambahan yang diperoleh tidak berarti.
    V. Fase Perbandingan Literatur
    Dalam fase ini diadakan perbandingan teori yang muncul dari hasil penelitian dengan teori yang ada dalam literatur. Di sini dilakukan kegiatan membandingkan dengan kerangka kerja yang bertentangan dan kerangka kerja yang selaras. Perbandingan ini dimaksudkan untuk menyempurnakan definisi konstruk dan meningkatkan validitas internal serta meningkatkan validitas eksternal.
    Kesimpulan
    Dari berbagai fase tahapan di atas, kesan pertama memang terasa rumit, namun kalau kita sudah mendalaminya sebagai bagian dari kegiatan penelitian, maka akan terasa mudah. Hal ini dikarenakan setiap tahapan merupakan rangkaian logika keilmuan yang mengalir berdasarkan penalaran rasional. Secara tidak langsung setiap tahapan akan menggiring kita pada logika penelitian yang sistematis. Menurut pengalaman saya, metode ini sangat menarik dan menantang, bagaimana dengan anda?
    Tanbah
    Mengenal Metode Grounded theory
    Sebelum tahu banyak tentang grounded theory, maka langkah awal untuk mengenalnya adalah melihat dari mana metode ini lahir. Grounded theory lahir dari Paradigma Kontruktivisme. Paradigma kontruktivisme merupakan suatu cara pandang dalam keilmuan dimana yang mencoba mengkontruksi atau merekontruksi suatu fakta yang terjadi dilapangan berdasarkan pada data empirik dan bekal pengetahuan yang membangun pola pikir si peneliti. Teori muncul berdasarkan data yang ada bukan dibuat sebelumnya sebagaimana dalam penelitian kuantitatif dalam bentuk hipotesis, melainkan metode pengumpulan data dilakukan melalui proses hermeneutik dan dialektik yang difokuskan pada kontruksi, rekontruksi dan elaborasi suatu proses sosial.
    Pada awal perkembangannya, paradigma kontruktivisme mengembangkan sejumlah indikator sebagai pikiran dalam melaksanakan penelitian dan pengembangan ilmu. Beberapa indikator tersebut antara lain: (1) penggunaan metode kualitatif dalam proses penelitian ; (2) mencari relevansi indikator kualitas untuk lebih memahami data-data lapangan; (3) teori-teori yang dikembangkan harus bersifat membumi (grounded theory); (4) kegiatan ilmu harus bersifat natural (apa adanya) dalam pengamatan; (5) pola-pola yang diteliti dan berisi kategori-kategori jawaban menjadi unit analisis dari variabel-variabel penelitian yang kaku dan steril; (6) penelitian bersifat partisipatif daripada mengontrol sumber informasi.1
    Sedangkan untuk komponen keilmuan paradigma kontruktivisme adalah sebagai berikut:
    1. Secara Ontologi, paradigma ini menyatakan bahwa realitas bersifat sosial dan karena itu akan menumbuhkan bangunan teori atas realitas majemuk dari masyarakatnya. Dengan demikian, tidak ada suatu realitas yang dapat dijelaskan secara tuntasoleh suatu ilmu pengetahuan. Realitas ada sebagai perangkat bangunan yang menyeluruh dan bermakna yang bersifat konfliktual dan dialektis. Karena itu, paham ini menganut prinsip relatifitas dalam memandang suatu fenomena alam atau sosial. Kalau tujuan penemuan ilmu dalam positivisme adalah untuk membuat generalisasi terhadap fenomena alam lainnya, maka kontruktivisme lebih cenderung menciptakan ilmu yang diekpresikan dalam bentuk pola-pola teori, jaringan atau hubungan timbal balik sebagai hipotesis kerja, bersifat sementara, lokal dan spesifik.
    2. Secara Epistimologi, hubungan antara peneliti dan objek penelitiannya bersifat interaktif, sehingga fenomena dan pola-pola keilmuan dapat dirumuskan dengan memperhatikan gejala hubungan yang terjadi antara keduanya. Oleh karena itu, hasil rumusan ilmu yang dikembangkan sangat bersifat subjekif.
    3. Secara Metodologi, paham ini secara jelas menyatakan bahwa penelitian harus dilakukan diluar laboratorium, yaitu di alam bebas sejawarnya (natural) untuk menangkap fenmena alam apa adanya dan secara menyeluruh tanpa campur tangan dan manipulasi pengamat atau pihak peneliti. Dengan setting natural ini, maka metode yang banyak digunakan adalah metode kualitatif dan metode pengumpulan data dilakukan melalui proses hermeneutik dan dialektik yang difokuskan pada kontruksi, rekontruksi dan elaborasi suatu proses sosial.2
    Menurut penggagasnya yaitu Barney Glaser dan Anselm Strauss, grounded theory tertulis sebagai… the discovery of teory from data-which we call grounded theory… Memang betul, ajaran utama pendekatan ini adalah, bahwa teori harus muncul dari data atau dengan kata lain, teori harus berasal (grounded) dalam data (Chamberlain,1995). Ungkapan grounded theory merujuk pada teori yang dibangun secara induktif dari satu kumpulan data. Bila dilakukan dengan baik, maka teori yag dihasilkan akan sangat sesuai dengan kumpulan data tadi. Dengan demikian hal ini sangat kontras dengan teori yang diturunkan secara deduktif dari grand theory, tanpa bantuan data dan sering kali terjadi akhirnya tidak pas dengan data manapun.
    Menurut Glasser dan Strauss, kekhasan dari metode ini dengan metode-metode penelitian kualitatif yang lain adalah dari penghasilan teori yang beralas data. Tetapi dalam tulisan Stren (1994) lebih jelas terungkap perbedaan grounded theory dengan metode-metode penelitian kualitatif yang lain. (a) Kerangka kerja konseptualnya dihasilkan dari data, bukan dari kajian terdahulu, walaupun demikian kajian terdahulu juga selalu mempengaruhi hasil akhir penelitian. (b) Peneliti yang menggunakan metode grounded theory selalu berusaha menemukan proses-proses dominan di suatu situasi sosial, bukannya menguraikan unit sosial yang diteliti. (c)setiap bagian dari data dibandingkan dengan bagian data yang lain guna menemukan model kategori jawaban yang sesuai dengan tujuan penelitian. (d) pengumpulan data dilapangan dapat dimodifikasi sejalan dengan pengemangan model kategorisasi, proporsi dan dalil yang ditemukan di lapangan guna mengembangkan teori baru, dan (e) Peneliti tidak mengikuti penggunaan langkah-langkah yang bersifat linier, melainkan kerja dengan matriks, dimana beberapa proses penelitian dilakukan secara simultan.3
    Perubahan yang terjadi di kalangan peneliti sosial, menjadikan perubahan pula pada aspek pemanfaatan metode grounded theory, seperti; (1) Kombinasi metode grounded theory dengan metode lai, kegiatan ini akan menghasilkan ragam-ragam model grounded theory dalam berbagai pokok masalah dan disiplin ilmu pengetahuan. (2) Prosedur yang digunakan dalam metode mungkin akan lebih dielaborasi, prosedur ini disesuaikan dengan “subtansi” kajian yang terus-menerus akan dikembangkan. (3) Berbagai teori atau interpretasi akan terus dikembangkan oleh ilmuwan yang berbeda dari disiplin yang berbeda pula. Sebagai konsekuensi logis grounded theory akan menjadi metode universal, memiliki kekuatan untuk membahas berbagai masalah yang lebih luas, kompleks dan memiliki keunikan. (4) Aplikasi komputer akan lebih banyak digunakan , terutama untuk membuat matriks, pembobotan masalah dan kategorisasi yang diperoleh di lapangan.4
    Sebuah pertanyaan dapat muncul secara wajar, ketika peneliti ingin melakukan kegiatan penelitian dengan grounded theory. Kapan persisnya dan pada kondisi yang bagaimana grounded theory pas untuk digunakan? Bagaimana langkah-langkah yang harus dipenuhi untuk menggunakan pendekatan tersebut?
    Menurut Galser dan Strauss, metode ini baik digunakan bila peneliti ingin membangun teori, baik teori subtantif maupun teori formal dalam seperangkat kode-kode properti maupun dalam diskusi teoritis. Sedangkan menurut Stren (1994), metode grounded theory paling baik diterapkan pada investigasi hal-hal yang masih belum jelas, atau untuk memperoleh persepsi baru dari hal-hal yang dianggap sudah lumrah.5
    Menurut Schlegel (1984) dan Stren (1994) ada tiga elemen dasar dari grounded theory, yang masing-masing tidak terpisahkan satu sama lainnya. (1) Konsep, dimana konsep ini dihasilkan dari konseptualisasi atas data. (2) Kategorisasi, merupakan level atau tingkatan yang lebih tinggi dan lebih abstrak dari konsep. Kategori juga merupakan “corner stone” dari pengembangan teori, dimana disini ada proses pengelompokan konsep melalui perbandingan yang sama atau berbeda pada kelompoknya masing-masing. (3) Proposisi, adalah suatu pernyataan yang menunjukkan pada adanya hubungan yang konseptual.6
    Cara untuk menghasilkan teori dengan metode grounded theory terdiri dari lima fase yang harus diikuti, yaitu: desain penelitian, pengumpulan data, penyusunan data, analisis data, dan pembandingan dengan literatur. Fase-fase ini masih diturunkan menjadi sembilan langkah, yaitu: tinjauan ulang literatur teknis, memilih kasus, membuat protokol pengumpulan data yang akurat, masuk ke lapangan, penyusunan data, menganalisis data yang berhubungan dengan kasus awal, percontohan teoritis, mencapai akhir penelitian, dan pembandingan teori yang muncul dengan literatur yang telah ada.7

    Kesimpulan
    Metode Grounded theory di Indonesia masih sangat jarang digunakan, sehingga peluang untuk menggunakan metode ini sebenarnya masih sangat terbuka lebar. Namun, perlu disadari penggunaan metode yang belum popular seperti ini, bagi mahasiswa (atau Peneliti pemula) harus siap menerima pertanyaan ini-itu dari dosen yang notabennya belum mempelajarinya. Pengalaman pribadi saya dalam penggunaan metode ini, saya harus mempertahankannya, menerangkannya dan memahamkannya berkali-kali ke dosen bahwa metode ini layak digunakan untuk konteks penelitian yang sedang saya lakukan. Saya juga harus menunggu sampai dosen juga mempelajarinya (masih untung dosen mau belajar).
    Metode ini menurut saya adalah sebuah metode yang akan membawa pada perkembangan ilmu yang lebih maju, kontekstual dan spesifik. Kekuatan analisisnya yang terstruktur dan memenuhi kaidah sebuah ilmu dan metodologi merupakan modal dari pengembangan keilmuan (pengembangan dari grand theory atau middle theory). Langkah konseptualisasi, kategorisasi dan penarikan proposisi serta mencari jalinan proposisi dari rimba data merupakan inti dari metode ini. Penggunaan metode ini memerlukan kesiapan yang matang dari seorang Peneliti. Kesiapan yang menjadi syarat utama adalah sebuah idealitas dari Peneliti untuk membongkar, mengkaji, merekontruksi sebuah teory yang ada. Kesiapan lain adalah perlunya pemahaman yang lebih terhadap metodologi penelitian secara umum. Dan persiapan yang paling pokok adalah kesiapan mental Peneliti, karena proses penelitian akan menguras banyak energi, tentangan dari orang lain (dosen atau peneliti lain), serta pandangan yang luas. Dan saya selalu salud pada para Peneliti (baik muda atau senior) yang telah memilih metode ini.

    Pengertian lain
    Metode Penelitian Kualitatif: Grounded Theory Approach

    PENDAHULUAN

    Pendekatan grounded teori (Grounded Theory Approach) adalah metode penelitian kualitatif yang menggunakan sejumlah prosedur sistematis guna mengembangkan teori dari kancah. Pendekatan ini pertama kali disusun oleh dua orang sosiolog; Barney Glaser dan Anselm Strauss. Untuk maksud ini keduanya telah menulis 4 (empat) buah buku, yaitu; “The Discovery of Grounded Theory” (1967), Theoritical Sensitivity (1978), Qualitative Analysis for Social Scientists (1987), dan Basics of Qualitative Research: Grounded Theory Procedures and Techniques (1990). Menurut kedua ilmuwan ini, pendekatan Grounded Theory merupakan metode ilmiah, karena prosedur kerjanya yang dirancang secara cermat sehingga memenuhi keriteria metode ilmiah. Keriteria dimaksud adalah adanya signikansi, kesesuaian antara teori dan observasi, dapat digeneralisasikan, dapat diteliti ulang, adanya ketepatan dan ketelitian, serta bisa dibuktikan.
    Sesuai dengan nama yang disandangnya, tujuan dari Grounded Theory Approach adalah teoritisasi data. Teoritisasi adalah sebuah metode penyusunan teori yang berorientasi tindakan/interaksi, karena itu cocok digunakan untuk penelitian terhadap perilaku. Penelitian ini tidak bertolak dari suatu teori atau untuk menguji teori (seperti paradigma penelitian kuantitatif), melainkan bertolak dari data menuju suatu teori. Untuk maksud itu, yang diperlukan dalam proses menuju teori itu adalah prosedur yang terencana dan teratur (sistematis). Selanjutnya, metode analisis yang ditawarkan Grounded Theory Approach adalah teoritisasi data (Grounded Theory).
    Pada dasarnya Grounded Theory dapat diterapkan pada berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial, namun demikian seorang peneliti tidak perlu ahli dalam bidang ilmu yang sedang ditelitinya. Hal yang lebih penting adalah bahwa dari awal peneliti telah memiliki pengetahuan dasar dalam bidang ilmu yang ditelitinya, supaya ia paham jenis dan format data yang dikumpulkannya.

    PERUMUSAN MASALAH PENELITIAN
    Seperti diketahui, paradigma kualitatif mengasumsikan bahwa di dalam kehidupan sosial selalu ditemukan regulasi-regulasi yang relatif sudah terpola. Pola-pola regulasi yang ditemukan melalui penelitian itulah yang dirumuskan menjadi teori. Asumsi ini dipertegas dalam Grounded Theory, dengan menyatakan bahwa; (a) semua konsep yang berhubungan dengan fenomena belum dapat diidentifikasi; dan (b) hubungan antarkonsep belum terpahami atau belum tersusun secara konseptual. Oleh sebab itu, tidak mungkin bagi seorang peneliti untuk mengajukan masalah yang sangat spesifik –seperti yang dituntut dalam metode kuantitatif, baik variabel maupun tipe hubungan antarvariabelnya. Substansi rumusan masalah dalam pendekatan Grounded Theory masih bersifat umum, yaitu dalam bentuk pertanyaan yang masih memberi kelonggaran dan kebebasan untuk menggali fenomena secara luas, dan belum sampai menegaskan mana saja variabel yang berhubungan dengan ruang lingkup masalah dan mana yang tidak. Demikian pula tipe hubungan antarvariabelnya belum perlu dieksplisitkan dalam rumusan masalah yang dibuat.
    Bertolak dari dasar asumsi dan kemungkinan yang diutarakan di atas, rumusan masalah dalam Grounded Theory disusun secara bertahap. Pada tahap awal –sebelum pengumpulan data, dikemukan rumusan masalah yang bersifat luas (tetapi tidak terlalu terbuka), yang kemudian nanti –setelah data yang bersifat umum dikumpulkan—rumusan masalahnya semakin dipersempit dan lebih difokuskan sesuai dengan sifat data yang dikumpulkan. Intinya adalah, bahwa rumusan masalah dalam Grounded Theory disusun lebih dari satu kali. Rumusan masalah yang diajukan pada tahap pertama dimaksudkan sebagai panduan dalam mengumpul data, sedangkan rumusan masalah yang diajukan pada tahap berikutnya dimaksudkan sebagai panduan untuk menyusun teori. Perumusan masalah yang disebut terakhir ini inheren dengan perumusan hipotesis penelitian.
    Seperti lazimnya pada setiap penelitian, rumusan masalah yang disusun pada tahap awal adalah yang memiliki substansi yang jelas serta diformulasikan dalam bentuk pertanyaan. Ciri rumusan masalah yang disarankan dalam Grounded Theory adalah; (a) berorientasi pada pengidentifikasian fenomena yang diteliti; (b) mengungkap secara tegas tentang obyek (formal dan material) yang akan diteliti, serta (c) berorientasi pada proses dan tindakan. Contoh rumusan masalah awal pada Grounded Theory; “Bagaimanakah wanita yang berpenyakit kronis mengatasi kehamilan?” Pertanyaan yang diajukan dalam rumusan masalah ini bermaksud untuk; (a) mengenali secara tepat dan mendalam perilaku wanita yang sedang berpenyakit kronis dalam mengatasi kehamilannya, (b) obyek formal penelitian adalah wanita yang berpenyakit kronis yang sedang hamil; sedangkan obyek materialnya adalah cara-cara yang dilakukan oleh wanita itu dalam mengatasi persoalan kehamilan dalam kondisi sakit, dan (c) orientasi utama yang disoroti adalah tahapan tindakan si wanita dan jenis-jenis atau bentuk-bentuk tindakan yang dipilih.

    PENGGUNAAN TEORI TERDAHULU
    Sebagaimana penelitian kualitatif pada umumnya, pendekatan Grounded Theory sama sekali tidak bermaksud untuk menguji teori, dan bahkan tidak bertolak dari variabel-variabel yang direduksi dari suatu teori. Sungguh tidak relevan jika penelitian dengan Grounded Theory dimulai dengan teori atau variabel yang telah ada, karena akan menghambat penge

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.